Birokrasi merupakan ujung tombak pelaksana pemerintahan dan kunci keberhasilan dalam pembangunan.Dikatakan semikian karena birokrasi secara langsung berhadapan dengan masyarakat serta merupakan perwujudan dan perpanjangan tangan pemerintah.Rasyid (1997) menyatakan bahwa birokrasi mempunyai peran besar dalam pelaksanaan urusan publik. Tugas dan fungsi birokrasi adalah:
1. Memberikan pelayanan umum (service) yang bersifat rutin kepada masyarakat seperti memberikan pelayanan perijinan, perlindungan dan pemeliharaan fasilitas umum, pemeliharaan kesehatan dan penyediaan jaminan keamanan bagi masyarakat.
2. Melakukan pemberdayaan (empowerment) terhadap masyarakat untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan yang lebih baik, seperti melakukan bimbingan, pendampingan, layanan konsultasi, menyediakan modal dan fasilitas usaha serta melaksanakan pendidikan.
3. Menyelenggarakan pembangunan (development) di tengah masyarakat seperti membangun infrastruktur perhubungan, telekomunikasi, perdagangan dan lain sebagainya.
Namun dalam praktiknya, peran dan fungsi birokrasi masih belum optimal. Hal ini dapat dilihat dengan masih adanya keluhan masyarakat terhadap rendahnya kualitas pelayanan public di berbagai sektor kehidupan, maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta rendahnya akuntabilitas kinerja aparatur yang semuanya dapat dijadikan indikator tingkat kepercayaan masyarakat kepada birokrasi. Rendahnya kualitas pelayanan publik mengakibatkan masyarakat sebagai pengguna jasa harus membayar biaya yang mahal (high cost economy) untuk mendapatkan pelayanan publik.Adanya ketidakpastian waktu dan biaya, menjadikan masyarakat enggan berhubungan dengan birokrasi.
Presiden Joko Widodo pernah menegaskan dalam peringatan hari ulangtahun Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) ke-43, “Tinggalkan mental priyayi atau penguasa.Jadilah birokrat yang melayani dan mengabdi dengan sepenuh hati untuk kejayaan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.Jaga kode etik profesi, pedomankan sumpah jabatan.Pegang teguh komitmen panca setia KORPRI.Buktikan kepada masyarakat bahwa integritas dan kinerja aparatur negara semakin berkualitas dan dapat dibanggakan”.Untuk dapat mewujudkannya, perlu dipersiapkan birokrasi yang memiliki pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set) yang produktif, efisien dan efektif, transparan dalam memberikan pelayanan publik.Oleh karena itu, perlu sebuah revolusi mental aparatur birokrasi secara nyata.
Pengertian Revolusi Mental Birokrasi
Secara tekstual revolusi mental berarti perubahan mendasar dalam cara berpikir dan cara merasa yang diterjemahkan dalam perilaku dan tindakan nyata keseharian dalam berbagai aspek kehidupan baik perilaku politik, perilaku ekonomi, perilaku pendidikan, perilaku kerja serta perilaku sosial kemasyarakatan. Makna dari perubahan mendasar ini memiliki arti yang positif dan merupakan gerakan yang cepat yaitu sebuah perubahan yang cepat dari cara, perilaku dan tindakan yang kurang baik atau salah menuju cara, perilaku dan tindakan yang baik atau benar.
Presiden Joko Widodo (Kompas, 10 Mei 2014) memberikan pengertian bahwa revolusi mental sebagai perubahan paradigma/mind-set atau budaya politik dalam rangka pembangunan bangsa (nation building) sesuai dengan cita-cita proklamasi Indonesia yang merdeka, adil dan makmur.
Dalam konteks birokrasi, revolusi mental harus dimaknai adanya sebuah cara berpikir, berperilaku dan bertindak dari setiap Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya sebagai pelaku utama dalam birokrasi pemerintahan; “dari cara berpikir dan perilaku ingin dilayani menjadi mau melayani, dari cara berpikir dan berperilaku tidak/kurang produktif menjadi produktif, dari cara berpikir dan berperilaku koruktif menjadi tidak koruktif, sehingga akan tumbuh dan berkembang perilaku bekerja dengan etos kerja yang baik dengan ukuran dan target kinerja yang jelas, bersih yaitu tidak melakukan perbuatan yang mengandung unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan professional dalam melayani yaitu mampu memberikan pelayanan sesuai standar pelayanan yang baik kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.
Strategi Pelaksanaan Revolusi Mental Birokrasi
Ada tiga fase untuk melakukan revolusi mental birokrasi secara bersungguh-sungguh dan berkesinambungan antara lain:
- Fase melihat, yaitu dengan mengidentifikasikan faktor yang menjadi penyebab mental aparatur yang masih belum baik
- Fase bergerak, yaitu dengan melakukan perubahan perbaikan mental aparatur birokrasi yang kongkrit dan melaksanakannya secara konsisten
- Fase menyelesaikan, yaitu memastikan bahwa program perubahan yang dilakukan telah dapat menjawab hasil yang diharapkan dengan melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan program perubahan untuk memberikan umpan balik perbaikan perencanaan dan pelaksanaan perubahan berikutnya.
Ada beberapa faktor yang mempengarugi mental aparatur birokrasi. Dalam teori behavior change yaitu Social Cognitive Theory disebutkan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya dan faktor personal yang melekat pada dirinya. Faktor penyebab dominan yang mempengaruhi pola pikir (mind-set) dan perilaku budaya kerja (culture-set) Aparatur Sipil Negara yaitu:
a. Penerapan Sistem Manajemen SDM Aparatur Berbasis Sistem Merit
Perilaku ASN sangat dipengaruhi oleh penerapan sistem manajemen SDM aparatur di lingkungan Birokrasi Pemerintah.Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih adri praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.Penerapan sistem manajemen ini akan berkontribusi besar dalam membentuk perilaku ASN dalam bekerja, karena secara langsung mengatur pengelolaan manajemen ASN sejak proses perencanaan kebutuhan, rekruitmen dan seleksi pengadaan, pengaturan pangkat dan jabatan, pengembangan kompetensi dan pola karir, pola mutasi dan promosi, sistem penilaian kinerja, pengaturan disiplin dan sanksi, sistem penggajian dan penghargaan sampai pada jaminan pensiun ASN.
Penerapan sistem manajemen SDM aparatur selama ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 beserta berbagai aturan pelaksanaannya. Hasil implementasi sistem ini masih dirasakan banyak kelemahan baik dalam pengaturan maupun penerapannya, sehingga masih banyak keluhan masyarakat terkait integritas , pola pikir (mind-set) dan perilaku budaya kerja (culture-set) serta akuntabilitas kinerja ASN yang masih rendah.
Oleh karena itu, salah satu langkah melakukan revoluasi mental birokrasi adalah dengan melakukan percepatan reformasi birokrasi manajemen SDM aparatur pada tingkat makro dan mikro. Pada tingkatan makro, penyusunan regulasi nasional berbagai aturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terkait implementasi sistem Merit, yang dalam hal ini dimandatkan pada Kementerian PANRB harus segera diselesaikan.
Pada tingkat mikro, setiap unit Kementerian, Lembaga serta Pemerintah Daerah harus mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 yang merupakan landasan hukum bagi pembentukan pegawai ASN yang berintegritas, dinamis dan berkinerja tinggi. Terdapat dua hal penting yang menjadi prinsip dasar dalam Undang-Undang ASN, antara lain:
- Menjalankan asas dan sistem merit dalam kebijakan dan manajemen ASN yang berdasakan pada kualifikasi, kompetensi dan kinerja secara adil dan wajar serta tidak ada unsur politik
- Sistem merit diimplementasikan dalam seleksi dan promosi secara adil dan kompetitif, penggajian, reward dan punishment berbasis kinerja, integritas dan kode etik perilaku, bebas dari intervensi politik serta efektif dan efisien dalam manajemen SDM.
Penerapan sistem merit (merit system) yaitu adanya kesesuaian antara kecakapan yang dimiliki seorang pegawai dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya, meliputi tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal/diklat, pendidikan dan latihan teknis, tingkat pengalaman kerja dan tingkat penguasaan tugas dan pekerjaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sistem merit dalam kebijakan promosi jabatan di daerah melipui regulasi, kontrol eksternal dan komitmen pelaku.
b. Penguatan Kepemimpinan Pada Masing-Masing Instansi
Perilaku ASN juga dapat dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan pada masing-masing instansi.Bawahan cenderung berperilaku mengikuti arahan, contoh atau teladan, konsistensi dan komitmen dari para pemimpinnya. Ada kecenderungan apa yang dilakukan para pemimpinnya akan mempengaruhi perilaku para aparatur di bawahnya. Oleh karena itu, komitmen kepemimpinan pada masing-masing instansi juga akan berdampak dalam pembentukan perilaku ASN. Komitmen kepemimpinan yang kuat dapat mempengaruhi perilaku para apparatur di bawahnya akan mengikuti menjadi baik, demikian sebaliknya komitmen kepemimpinan yang lemah akan dapat membawa perilaku bawahannya menjadi kurang baik.
Oleh karena itu, cara yang harus dilakukan dalam melakukan revolusi mental birokrasi adlah dengan penguatan penerapan sistem akuntabilitas kinerja organisasi dan individu setiap ASN pada masing-masing Kementerian, Lembaga dan tiap Dinas pada pemerintah daerah. Penerapan sistem ini dapat membentuk budaya kinerja pada setiap level pimpinan instansi. Pimpinan pada setiap level harus merencanakan kinerja, membuat kontrak kinerja, memonitor kinerja dan mempertanggungjawabkan kinerja instansi yang dipimpinnya.
Apabila budaya kinerja papda tingkat pimpinan sudah terbangun dengan baik, maka sudah dapat dipastikan akan mempengaruhi budaya kerja para aparatur bawahannya. Hal ini dapat menumbuhkan budaya malu yang dapat ditanamkan di lingkungan organisasi birokrasi.Malu jika tidak dapat mencapai kontrak kinerja, malu jika tidak dapat memberikan pelayan publik yang terbaik dan malu jika berperilaku menyimpang dari sumpah jabatan dan kode etik.
c. Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi
Perkembangan teknologi informasi dan aplikasinya begitu cepat dan sangat luas di kalangan ASN, dan hal ini dapat mengubah perilaku ASN menjadi positif atau sebaliknya. Apabila menggunakan kemajuan teknologi informasi untuk hal-hal yang produktif maka akan sangat membantu pelaksanaan tugas-tugas, sehingga ASN dapat bekerja lebih cepat, lebih efisien, lebih akurat. Sebaliknya jika menggunakannya hanya untuk mengutamakan kepentingan pribadi maka kinerja ASN menjadi tidak produktif. Oleh karena itu pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di setiap instansi pemerintah akan dapat membangun budaya kerja ASN menjadi lebih cepat, akurat, efisien dan efektif.
Dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, maka yang harus dilakukan dalam revolusi mental birokrasi adalah membangun dan menerapkan budaya kerja di setiap Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah untuk memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Implementasi ini sering dikenal dengan sistem elektronik pemerintah (e-government) yang meliputi berbagai sistem aplikasi, misalnya e-office; e-planning; e-budgeting; e-procorement; e-performance; e-audit dan lainnya.
d. Transparansi Pengelolaan Pelayanan Publik
Transparansi pengelolaan layanan publik pada masing-masiang instansi dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap perilaku ASN. Manajeman pelayanan yang diterapkan dengan baik, dilengkapi dengan sistem pengelolaan pengaduan, penerapan maklumat dan dtandar pelayanan yang jelas, prosedur yang sederhana, penerapan etika pelayanan serta pernerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan akan membuat perilaku aparatur terbentuk dan terkendali pada batas-batas yang telah ditetapkan oleh organisasi.
Oleh karena itu perlu dilakukan penguatan unit-unit pelayanan yang ada di lingkungan Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah untuk menerapkan prinsip-prinsip pelayanan yang baik sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik, misalnya membuka customer care/service/help desk bagi para stakeholder-nya. Dengan adanya customer care masyarakat dapat menyampaikan keluhan, saran ataupun kritik serta pengaduan penyimpangan. Customer care harus tidak hanya sekedar menerima pengaduan dengan gaya birokrat yang kaku, tetapi harus mencerminkan penerimaan yang baik, ramah, sabar, kompeten dan memberika solusi.
e. Penguatan Fungsi Pengawasan
Perilaku aparatur dapat dipengaruhi oleh adanya peran pengawasan yang dibangun dan dilakukan, baik pengawasan fungsional yang berada dalam lingkungan birokrasi maupun pengawasan masyarakat dan pemangku kepentingan yang berada dalam lingkaran birokrasi. Rendahnya sistem pengawasan terhadap kinerja aparatur atau birokrasi mengakibatkan kinerja aparatur atau birokrasi tidak maksimal, dan KKN pun akan semakin marak. Sistem pengawasan melekat (pengawasan atasan langsung dan sistem pengendalian internal) dalam praktiknya tidak berjalan dengan baik dan maksimal.Hal ini dapat disebabkan oleh faktor ewuh pakewuh antara atasan dengan bawahan.
Oleh karena itu, perlu dibangun suatu sistem pengawasan yang efektif terhadap birokrasi, agar penyimpangandapat dicegah sedini mungkin. Pengawasan fungsionalyang berintegritas dan peran aktif pengawasan masyarakat dapat mempengaruhi perilaku aparatur dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Salah satu diantaranya adalah media massa dengan beritanya dan masyarakat yang menyampaikan keluhan-keluhan tentang adanya in-efisiensi dalam pemerintahan, sehingga mendorong aparatur mau tidak mau harus merespon melalui tindakan nyata untuk bekerja lebih efisiensi. Jika pengawasan publik ini terus-menerus dilakukan maka terbentuklah perilaku aparatur yang baik.
Makna dan langkah revolusi mental birokrasi tidak hanya diwacanakan dalam tataran politik. Revolusi mental merupakan sebuah langkah dasar dan nyata yang mampu dilakukan dengan perubahan cara berpikir, berperilaku dan bertindak dari setiap Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya menjadi lebih melayani, berkinerja produktif, akuntabilitas, professional dan menjaga diri dan perilaku sesuai kode etik dan sumpah jabatan demi kepentingan bangsa dan masyarakat sebagai stakeholder utamanya.
Revolusi mental birokrasi harus dilakukan dengan strategi yang tepat, konsisten, bertahap dan komprehensif melalui instrument yakni penerapan sistem manajemen SDM aparatur yang berbasis sistem merit, penguatan kepemimpinan pada masing-masing instansi, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, transparansi pengelolaan layanan publik dan penguatan fungsi pengawasan. Instrument tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan.Dalam implementasinya, semua instrument sangat tergantung pada komitmen dan kemauan (political strong will) dari pemerintah serta dukungan legislative untuk mewujudkannya.
Selain itu, hal yang harus dilakukan dalam revolusi mental birokrasi adalah memperkuat peran quality assurance, pengawasan fungsional sebagai peran serta pengawasan masyarakat dengan membangun sistem dan penanganan pengaduan masayrakat yang efektif di setiap Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah agar penyimpangan dapat dicegah sedini mungkin. Keluhan-keluhan yang disampaikan oleh masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya kepada birokrasi akan dapat mendorong perubahan perilaku para aparatur birokrasi apabila semua elemen ikut mendorong dan mendukung penyelesaian solusinya, baik pemerintah, legislatif maupun yudikatif.
Sumber referensi:
Herru Widiatmanti, SE, ME – Revolusi Mental Birokrasi
Kompas
Bureaucratic Mental Revolution
Bureaucracy is the spearhead of government executives and the key to success in development. It is said that because the bureaucracy is directly dealing with the community and is an embodiment and extension of the government. Rasyid (1997) states that the bureaucracy has a large role in implementing public affairs. The tasks and functions of the bureaucracy are:
1. Providing routine public services to the community such as providing licensing services, protecting and maintaining public facilities, maintaining health and providing security guarantees for the community.
2. Empowering the community to achieve progress in a better life, such as providing guidance, assistance, consulting services, providing capital and business facilities and implementing education.
3. Organizing development in the community such as building transportation infrastructure, telecommunications, trade and so on.
But in practice, bureaucratic roles and functions are still not optimal. This can be seen from the public complaints about the low quality of public services in various sectors of life, the widespread practice of corruption, collusion and nepotism (KKN) and the low accountability of apparatus performance, all of which can be indicators of the level of public trust in the bureaucracy. The low quality of public services results in the community as service users having to pay high costs to get public services. The uncertainty of time and costs makes the community reluctant to relate to the bureaucracy.
President Joko Widodo once emphasized in the commemoration of the 43rd anniversary of the Indonesian Civil Servants Corps (KORPRI). hold firm. Commit to the commitment of the five KORPRI loyalists. Prove to the public that the integrity and performance of the state apparatus are more qualified and can be proud of. "To be able to make it happen, bureaucracy must be prepared that has a mindset and culture-set productive, efficient and effective, transparent in providing public services. Therefore, it is necessary to have a mental revolution in real bureaucratic apparatus.
Definition of Mental Revolution Bureaucracy
Textually mental revolution means a fundamental change in the way of thinking and how to feel that is translated into daily behaviors and concrete actions in various aspects of life both political behavior, economic behavior, educational behavior, work behavior and social behavior. The meaning of this fundamental change has a positive meaning and is a fast movement that is a rapid change of ways, behavior and actions that are not good or wrong towards ways, behavior and actions that are good or right.
President Joko Widodo (Kompas, 10 May 2014) gives an understanding that mental revolution is a paradigm / mind-set change or political culture in the framework of nation building in accordance with the ideals of an independent, just and prosperous proclamation of Indonesia.
In the context of bureaucracy, mental revolutions must be interpreted as a way of thinking, behaving and acting from each State Civil Apparatus (ASN) in carrying out their duties, functions and authorities as the main actors in the government bureaucracy; "From the way of thinking and behavior you want to be served to be willing to serve, from a way of thinking and behaving non-productive to being productive, from a way of thinking and behaving to become corrupt, so that it will grow and develop behavior working with a good work ethic with size and target clear, clean performance, namely not doing anything that contains elements of Corruption, Collusion and Nepotism (KKN) and professionals in serving, that is able to provide services in accordance with good service standards to the community and other stakeholders.
Strategy for Implementing the Bureaucratic Mental Revolution
There are three phases to making a serious and continuous mental revolution of bureaucracy, including:
- The phase saw, that is by identifying factors that were the cause of mental apparatus that were still not good
- The phase moves, namely by making changes to the mental improvement of concrete bureaucratic apparatus and implementing them consistently
- The completing phase, which is to ensure that the change program carried out has been able to answer the expected results by monitoring and evaluating the implementation of the change program to provide feedback on improving planning and implementing subsequent changes.
There are several factors that affect the mental loss of the bureaucratic apparatus. In the theory of behavior change, namely Social Cognitive Theory, it is stated that human behavior is influenced by the surrounding environment and personal factors inherent in him. The dominant factors that influence the mindset and culture of the State Civil Apparatus are:
a. Application of Merit System-Based HR Management System Apparatus
ASN's behavior is strongly influenced by the application of the HR management system of the apparatus within the Government Bureaucracy. Management of ASN is the management of ASN to produce professional ASN employees, have basic values, professional ethics, free from political intervention, clean practices of corruption, collusion and nepotism. This management will contribute greatly in shaping ASN behavior in work, because it directly regulates the management of ASN management since the needs planning process, procurement recruitment and selection, rank and position arrangements, development of career competencies and patterns, transfer patterns and promotions, performance appraisal systems, regulations discipline and sanctions, payroll and reward systems up to ASN pension guarantees.
The application of the apparatus HR management system has been based on Law Number 8 of 1974 concerning the Principles of Staffing as amended by Law Number 43 of 1999 along with various rules for its implementation. The results of the implementation of this system are still felt by many weaknesses in both the regulation and implementation, so that there are still many public complaints regarding integrity, mindset and culture-set behavior as well as the performance accountability of ASN that is still low.
Therefore, one of the steps to make a mental revolution in the bureaucracy is to accelerate the apparatus HR management bureaucracy reform at the macro and micro level. At the macro level, the formulation of national regulations for various implementing regulations mandated in Law Number 5 of 2014 concerning the State Civil Apparatus related to the implementation of the Merit system, which in this case is mandated in the PANRB Ministry must be immediately resolved.
At the micro level, every Ministry unit, Institution and Regional Government must implement Law Number 5 of 2014 which is the legal basis for the establishment of ASN employees with integrity, dynamic and high performance. There are two important things which are the basic principles in the ASN Law, including:
- Carrying out merit principles and systems in ASN policies and management based on qualifications, competencies and performance fairly and fairly and there is no political element
- The merit system is implemented in fair and competitive selection and promotion, payroll, reward and punishment based on performance, integrity and code of conduct, free from political intervention and effective and efficient in HR management.
Merit system implementation is a match between the skills possessed by an employee and the position entrusted to him, including the level of formal education, the level of non-formal education / training, education and technical training, the level of work experience and the level of mastery of duties and work. Factors that influence the implementation of the merit system in promotion policies in the regions include regulation, external control and commitment of the perpetrators.
b. Strengthening Leadership in Each Agency
ASN behavior can also be influenced by leadership factors in each agency. Subordinates tend to behave following directions, examples or examples, consistency and commitment from their leaders. There is a tendency for what the leaders do will influence the behavior of the apparatus below. Therefore, leadership commitment in each agency will also have an impact on forming ASN behavior. Strong leadership commitment can influence the behavior of the apparatures below who will follow to be good, and vice versa weak leadership commitment will be able to bring the behavior of subordinates to be less good.
Therefore, the way to do a mental revolution in the bureaucracy is by strengthening the implementation of an organizational and individual performance accountability system for each of the Ministries, Institutions and each Office in the regional government. The application of this system can form a performance culture at each level of agency leadership. Leaders at each level must plan performance, make performance contracts, monitor performance and account for the performance of the agencies they lead.
If the performance culture of the papda leadership level has been well developed, then it can certainly affect the work culture of its subordinate apparatus. This can foster a culture of shame that can be instilled in a bureaucratic organization. Shame if you cannot achieve a performance contract, shame if you cannot provide the best public servants and shame if you behave deviant from your oath of office and code of ethics.
c. Utilization of Information and Communication Technology
The development of information technology and its application is so fast and very broad among ASNs, and this can change the behavior of ASNs to be positive or vice versa. When using information technology advances for productive things, it will greatly assist the implementation of tasks, so that ASN can work faster, more efficiently, more accurately. Conversely, if you use it only to prioritize personal interests, the performance of ASN becomes unproductive. Therefore the use of information and communication technology in every government agency will be able to build a work culture of ASN to be faster, more accurate, efficient and effective.
With the use of information and communication technology, what must be done in the mental revolution of the bureaucracy is to build and implement a work culture in each Ministry, Institution and Regional Government to utilize information and communication technology in carrying out their duties. This implementation is often known as government electronic systems (e-government) which includes various application systems, such as e-office; e-planning; e-budgeting; e-procorement; e-performance; e-audit and others.
d. Transparency of Public Service Management
Transparency in managing public services at each agency can have a major influence on the behavior of ASNs. Service management that is well implemented, equipped with a complaint management system, the application of clear information and service standards, simple procedures, the application of service ethics and the application of information and communication technology in service will make the behavior of apparatus formed and controlled at predetermined boundaries by the organization.
Therefore it is necessary to strengthen service units within the Ministry, Institutions and Regional Governments to apply the principles of good service as mandated in Law No. 25 of 2009 concerning public services, for example opening customer care / service / help desk for the stakeholders. With the existence of community customer care can submit complaints, suggestions or criticism as well as complaints of irregularities. Customer care must not only accept complaints in a rigid bureaucrat style, but must reflect good, friendly, patient, competent acceptance and provide solutions.
e. Strengthening the Supervision Function
The behavior of the apparatus can be influenced by the existence of a supervisory role that is built and carried out, both functional supervision that is in the bureaucratic environment and the supervision of the community and stakeholders in the bureaucratic circle. The low supervision system on the performance of the apparatus or bureaucracy has caused the performance of the apparatus or bureaucracy to be not optimal, and KKN will be increasingly widespread. The inherent supervision system (direct supervisor supervision and internal control system) in practice does not work well and optimally. This can be caused by the influence of factors between superiors and subordinates.
Therefore, it is necessary to build an effective system of supervision of the bureaucracy, so that deviations can be prevented as early as possible. Functional supervision with integrity and an active role in overseeing the community can influence the behavior of the apparatus in carrying out their duties and functions properly. One of them is the mass media with its news and the people who submit complaints about the existence of efficiency in government, thus encouraging the apparatus to inevitably have to respond through concrete actions to work more efficiently. If this public supervision is continuously carried out, then the behavior of good apparatus is formed.
The meaning and steps of the bureaucratic mental revolution are not only discussed at the political level. Mental revolution is a basic and real step that can be done by changing the way of thinking, behaving and acting from each State Civil Apparatus (ASN) in carrying out their duties, functions and authorities to be more serving, productive performance, accountability, professional and maintaining themselves and behavior accordingly code of ethics and oath of office in the interest of the nation and society as its main stakeholders.
The bureaucratic mental revolution must be carried out with the right, consistent, gradual and comprehensive strategy through the instrument, namely the application of the merit-based apparatus HR management system, strengthening leadership in each agency, utilization of information and communication technology, transparency of public service management and strengthening of monitoring functions . The instrument is an interrelated entity. In its implementation, all instruments are very dependent on the commitment and willingness (political strong will) of the government and legislative support to make it happen.
In addition, what must be done in the mental revolution of the bureaucracy is to strengthen the role of quality assurance, functional supervision as a role for public oversight by building an effective system and handling of complaints in every Ministry, Institution and Regional Government so that irregularities can be prevented as early as possible. Complaints submitted by the public and other stakeholders to the bureaucracy will be able to encourage changes in the behavior of the bureaucratic apparatus if all elements contribute to and support the completion of the solution, both government, legislative and judicial.
Reference source:
Herru Widiatmanti, SE, ME – Revolusi Mental Birokrasi
Kompas
- 1876 reads