Keberagaman Indonesia dalam konteks suku bangsa, agama, nilai dan keyakinan menjadi khazanah kebhinekaan yang mempunyai dua sisi mata pedang yang berbeda satu sama lain. Sebagai sebuah bentuk kekayaan, maka kondisi majemuk bangsa merupakan sebuah realitas yang bisa menghadirkan potensi-potensi pendorong adanya pertumbuhan dan kerjasama. Namun di sisi lain, keberagaman juga menjadi ancaman ketika primordialisme dan ego sektor menguat dan berusaha untuk saling “mengalahkan”.
Begitu pun dalam tubuh pemerintahan, keberagaman juga mewarnai sektor yang relatif berbeda satu sama lain. Perbedaan antar sektor secara alami mendorong adanya perbedaan visi dan misi serta orientasi masing-masing sektor yang pada akhirnya akan mendorong adanya kompetisi atau persaingan antar sektor. Satu sektor akan memandang sektor lain tidak lebih penting dari sektornya dan demikian juga sebaliknya. Mentalitas yang sempit akan lebih mementingkan sektor masing-masing bisa terus menguat apabila perekat antar sektor lemah atau bahkan tidak ada.
Kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat terhadap pelayanan publik membuat pemerintah dituntut untuk melakukan perbaikan, terutama terkait dengan sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Rumitnya prosedur terkait dengan pelayanan publik merupakan gejala umum yang telah dihadapi oleh masyarakat Indonesia selama bertahun-tahun. Perizinan yang harus melalui banyak pintu dan durasi pelayanan yang memakan banyak waktu menjadi momok tersendiri bagi masyarakat. Pelayanan yang cepat dan prosedur yang mudah merupakan harapan masyarakat yang harus dijawab oleh pemerintah untuk memberikan kepuasan publik. Melalui peraturan Presiden (PP) Nomor 5 Tahun 2010 tentang permasalahan, terutama terkait dengan ego sektoral masing-masing instansi pemerintah. Aparatur sipil negara (ASN) sebagai aparatur penyelenggara negara sudah seharusnya menjadi motor penggerak persatuan dan kesatuan serta menjadi contoh bagi warga bangsa dan masyarakat dalam mencapainya, bukan sebaliknya menjadi contoh buruk mendorong terjadinya disintegrasi bangsa dan fragmentasi sektor.
Perbedaan antar sektor mendorong munculnya perbedaan visi dan orientasi, yang pada akhirnya akan mendorong munculnya kompetisi atau persaingan antar sektor. Beragam kepentingan yang diemban oleh masing-masing instansi menimbulkan ancaman ketika ego sektoral menguat dan masing-masing instansi seakan-akan berlomba untuk saling mengalahkan. Satu sektor atau instansi bisa saja memandang sektor atau instansi lain tidak lebih penting dari sektornya sendiri.
Reformasi birokrasi yang diamanatkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tidak boleh sekedar diartikan sebagai reformasi mental aparatur pemerintahan, melainkan juga mereformasi sistem pelayanan masyarakat sehingga menjadi lebih efektif dan terbebas dari ego sektoral.
Beberapa hal lain terkait penyelenggaraan pemerintahan seperti mengapa satu isu atau masalah dapat diatasi oleh kebijakan atau institusi tertentu, padahal isu atau masalah tersebut memerlukan upaya lebih dari sekedar jawaban kebijakan atau penanganan institusi tersebut. Whole of Government (WoG) adalah sebuah pendekatan penyelenggaraan pemerintahan yang menyatukan upaya-upaya kolaboratif pemerintahanan dari keseluruhan sektor dalam ruang lingkup koordinasi yang lebih luas guna mencapai tujuan-tujuan pembangunan kebijakan, manajemen program dan pelayanan publik. Oleh karena itu, WoG juga dikenal sebagai pendekatan integrancy, yaitu pendekatan yan melibatkan sejumlah kelembagaan yang terkait dengan urusan-urusan yang relevan.
Pengertian Whole of Government (WoG)
Definisi Whole of Government dalam laporan ASPC sebagai:
“(it) denotes publc service agencies working across portfolio boundaries to achieve a shared goal and an integrated government response to particular issues. Approaches can be formal and informal. They can focus n policy development, program management and service delivery” (Shergold & others, 2004).
Whole of Government (WoG) menjelaskan bagaimana instansi pelayanan publik bekerja lintas batas atau lintas sektor guna mencapai tujuan bersama dan sebagai respon terpadu pemerintah terhadap isu-isu tertentu. WoG merupakan pendekatan yang menekankan aspek kebersamaan dan menghilangkan sekat-sekat sektor yang selama ini terbangun.
Menurut United States Institut of Peace (USIP) definis Whole of Government adalah sebuah pendekatan yang mengintegrasikan upaya kolaboratif dari instansi pemrintah untuk menjadi kesatuan menuju tujuan bersama, sebagai bentuk kolaborasi, kerjasama antar instansi, aktor pelayanan dalam menyelesaikan suatu masalah dalam pelayanan. WoG menekan pelayanan yang terintegrasi sehingga prinsip kolaborasi, kebersamaan, kesatuan dalam melayani permintaan masyarakat dapat diselesaikan dengan waktu yang singkat.
Shergold (2004:11) mendefiniskan whole of government sebagai pelayanan publik oleh pemerintah yang bekerja lintas batas untuk mencapai tujuan bersama dan memberikan tanggapan terpadu terhadap isu-isu tertentu. Pendekatan yang diambil bisa pendekatan formal maupun pendekatan informal. Whole of Government dapat diaplikasi agar pemerintah dapat memberikan layanan berkualitas bagi masyarakat dan meastikan bahwa pekerjaan yang diemban oleh aparatur pemerintahan dapat berjalan efektif dan efisien.
WoG sering disamakan dengan konsep policy integration, policy coherence, cross-cutting policy-making, joined-up government, concerned decision making, policy coordination atau cross government. WoG memiliki karakteristik dengan konsep-konsep tersebut, terutama karakterisktik integrasi institusi atau penyatuan pelembagaan baik secara formal maupun informal dalam suatu wadah. Ciri lainnya adalah kolaborasi yang terjadi antar sektor dalam menangani isu tertentu. Namun terdapat beberapa perbedaan diantaranya bahwa WoG menekankan adanya penyatuan keseluruhan (whole) elemen pemerintahan, sementara konsep-konsep tadi lebih banyak menekankan pada pencapaian tujuan , proses integrasi institusi, proses kebijakan dan lainnya sehingga penyatuan yang terjadi hanya berlaku pada sektor-sektor tertentu yang dipandang relevan.
Sebagai institusi formal negara, pemerintah wajib mendorong tumbuhnya nilai-nilai perekat kebangsaan yang menjamin bersatunya berbagai elemen kebangsaan dalam satu frame. Whole of Government merupakan salah satu frame yang dapat diterapkan dalam pemerintahan dalam rangka meminimalisir disintegrasi bangsa dan menghilangkan fragmentasi sektor. Seluruh elemen Pemerintah, khususnya Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki peran yang sangat besar terhadap terwujudnya whole of government.
Mengapa Whole of Government?
Beberapa alasan mengapa Whole of Government (WoG) sangat penting dan harus mendapat perhatian dari pemerintah, diantara:
1. Faktor eksternal
Adanya dorongan publik dalam mewujudkan integrasi kebijakan, program pembangunan dan pelayanan sehingga penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik dapat tercipta. Selain itu, perkembangan teknologi informasi, situasi dan dinamika kebijakan yang lebih kompleks juga mendorong penting WoG dalam menyatukan intitusi pemerintah sebagai penyelenggara kebijakan dan layanan publik.
2. Faktor internal,
Terdapat fenomena ketimpangan kapasitas sektoral sebagai akibat dari adanya nuansa kompetisi antar sektor dalam pembangunan. Satu sektor bisa menjadi superior terhadap sektor lain atau masing-masing sektor dapat tumbuh namun tidak dapat berjalan beriringa, melainkan justru kontraproduktif atau “saling membunuh”. Masing-masing sektor menganggap bahwa sektornya lebih penting dari sektor lainnya.
Sebagai contoh misalnya, sektor lingkungan hidup memandang bahwa pelestarian alam, terutama hutan merupakan prioritas dalam pembangunan sehingga perlu dijadikan sebagai prioritas untuk mendapat dukungan kebijakan dan dana yang lebih dari sektor lainnya. Sementara di sisi lain, sektor pertambangan memandang bahwa pembangunan memerlukan modal yang besar dan tambang dapat menyediakannya sehingga perlu dijadikan prioritas untuk mendapatkan dukungan kebijakan dari pemerintah. Kedua sektor ini sangat penting, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan atau bahkan berseberangan dalam tujuannya.
Perbedaan orientasi atau tujuan masing-masing sektor dalam pembangunan dapat menyebabkan tumbuhnya ego sektoral (mentalitas silo) yang mendorong perilaku dan nilai individu ataupun kelompok yang menyempit pada kepentingan sektor. Hal ini jelas merugikan karena penguatan sektor tanpa adanya nilai-nilai kesatuan hanya akan menyebabkan persaingan antar sektor yang kontra produktif terhadap tujuan-tujuan yang lebih besar atau yang berskala nasional. Menguat dan tumbuhnyasektor dalam perspektifnya masing-masing diikuti dengan adanya pelembagaan atau ketentuan peraturan perundangan sektoral yang relatif mengabaikan tujuan bersama atau nasional dengan lebih mementingkan kepentingan sektoralnya.
3. Keberagaman latar belakang nilai, budaya dan adat istiadat serta bentuk latar belakang lainnya mendorong adanya potensi disintegrasi.
Pemerintah sebagai institusi formal memiliki kewajiban untuk mendorong tumbuhnya nilai-nilai perekat kebangsaaan yang akan menjamin bersatunya elemen-elemen kebangsaan dalam satu frame NKRI.
WoG menjadi penting karena sangat diperlukan sebuah upaya untuk memahami penting kebersamaan dari seluruh sektor guna mencapai tujuan bersama. Sikap, perilaku dan nilai yang berorientasi sektor harus dicairkan dan dibangun dalam fondasi kebangsaan yang lebih mendasar, yang mendorong adanya semangat persatuan dan kesatuan.
Bagaimana Whole of Government Dilakukan
Pendekatan WoG dapat dilaksanakan dalam tataran kelembagaan nasional maupun daerah, namun harus dilakukan penataan terlebih dahulu sebelum WoG diperkenalkan. Akan tetapi, penataan tersebut tidak serta merta merubah kelembagaan ataupun sebaliknya. Dalam Perry 6 (2004) terdapat perbedaan kategori hubungan kelembagaan dalam sebuah continuum sebagai berikut:
WoG dapat dilakukan mulai dari sebatas koordinasi tanpa membawa dampak perubahan pada institusi atau kelembagaan. Kelembagaan yang terlibat dalam koordinasi tidak mengalami perubahan struktur organisasi. Dalam kategori integrasi, kelembagaan yang terlibat mulai menyamakan perencanaan jangka panjang serta perencanaan kerjasama. Dalam kategori kedekatan dan pelbatan, kelembagaan menyatukan diri dalam wadah yang relatif permanen.
Beberapa cara yang dapat dilakukan melalui pendekatan WoG, baik dari sisi penataan institusi formal maupun informal antara lain:
1. Penguatan koordinasi antar lembaga
Penguatan koordinasi dapat dilakukan jika jumlah lembaga-lembaga yang dikoordinasikan masih terjangkau dan manageable. Dalam prakteknya, rentang kendali yang rasional akan sangat terbatas. Salah satu alternatifnya adalah, mengurangi jumlah lembaga yang ada sampai mendekati jumlah yang ideal untuk sebuah koordinasi. Dengan jumlah lembaga yang rasional, maka koordinasi dapat dilakukan dengan lebih mudah.
2. Membentuk lembaga koordinasi khusus
Pembentukan lembaga yang terpisah dan permanen yang bertugas dalam mengkoordinasikan sektor atau kementerian terkait adalah salah satu cara melakukan WoG, lembaga koordinasi ini biasanya diberikan status kelembagaan setingkat lebih tinggi, atau setidaknya setara dengan kelembagaan yang dikoordinasikannya.
3. Membentuk gugus tugas
Gugus tugas merupakan bentuk pelembagaan koordinasi yang dilakukan di luar struktur formal yang sifanya tidak permanen. Pembentukan gugus tugas biasanya menjadi salah satu cara agar sumber daya yang terlibat dalam koordinasi tersebut dicabut sementara dari lingkungan formalnya untuk berkonsentrasi dalam proses koordinasi.
4. Koalisi sosial
Koalisi sosial merupakan bentuk informal dari penyatuan koordinasi antar sektor atau lembaga, tanpa perlu membentuk pelembagaan khusus dalam koordinasi ini. Koalisi sosial mendorong adanya penyamaan nilai dan persepsi tentang suatu hal, sehingga pada akhirnya akan terjadi koordinasi alamiah.
Tantangan yang Dihadapi Dalam Penerapan WoG
Beberapa tantangan yang akan dihadapi dalam penerapan WoG antara lain:
1. Kapasitas SDM dan institusi
Kapasitas SDM dan institusi-institusi yang terlibat dalam WoG tidaklah sama. Perbedaan kapasitas ini bisa menjadi kendala serius ketika pendekatan WoG, misalnya mendorong terjadinya merger atau akuisisi kelembagaan, dimana terjadi penggabungan SDM dengan kualifikasi yang berbeda.
2. Nilai dan budaya organisasi
Seperti halnya dengan kapasitas dan institusi, nilai dan budaya organisasi pun menjadi kendala manakala terjadi upaya kolaborasi sampai dengan penyatuan kelembagaan.
3. epemimpinan
kepemimpinan menjadi salah satu kunci penting dalam pelaksanaan WoG, kepemimpinan yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang mampu mengakomodasi perubahan nilai dan budaya organisasi serta meramu SDM yang tersedia guna mencapai tujuan yang diharapkan.
Praktek WoG dalam Pelayan Publik
Praktek WoG dalam pelayanan publik dilakukan dengan menyatukan seluruh sektor yang terkait dengan pelayanan publik. Jenis pelayanan publik yang dikenal yang dapat dilakukan dengan pendekatan WoG adalah:
1. Pelayanan yang bersifat administratif
Pelayanan publik yang menghasilkan berbagai dokumen dan surat-surat resmi yang dibutuhkan oleh warga masyarakat. Dokumen dan surat-surat resmi yang dihasilkan dapat berupa KTP, status kewarganegaraan, status usaha, surat kepemilikan atau penguasaan atas barang, ataupun SIUP, ijin trayek, ijin usaha akta, sertifikat tanah dan lain sebagainya. Praktek Wog dalam jenis pelayanan administrasi dapat dilihat dalam praktek-praktek penyatuan penyelenggaraan ijin dalam satu pintu seperti PTSP atau kantor SAMSAT.
2. Pelayanan jasa
Pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat seperti pendidikan. Kesehatan, ketenagakerjaan, perhubungan dan lain sebagainya.
3. Pelayanan barang
Pelayanan yang menghasilkan jenis barang yang dibutuhkan oleh warga masyarakat seperti jalan, perumahan, jaringan telpon dan listrik, air bersih dan lain-lain.
4. Pelayanan regulative
Pelayanan melalui penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan, maupun kebijakan publik yang mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Berdasarkan polanya, pelayanan publik dapat dibedakan dalam 5 (lima) macam pola pelayanan, antara lain:
1. Pola pelayanan teknis fungsional
Pola pelayanan ini adalah pelayanan sektoral, yang sifatnya hanya relevan antara satu sektor dengan sektor tertentu. WoG dapat dilakukan apabila pola pelayanan publik ini memiliki karakter atau keterkaitan yang sama.
2. Pola pelayanan satu atap
Pola pelayanan yang dilakukan secara terpadau pada satu instansi pemerintah yang berkaitan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Pola ini memudahkan masyarakat pengguna ijin untuk mengurus permohonan perijinan,
3. Pola pelayanan satu pintu
Pola pelayanan masyarakt yang diberikan secara tunggal oleh sutua unit kerja pemerintah berdasarkan pelimpahan wewenang dari unit kerja pemerintah terkait laiinya yang berkaitan. Wog dilakukan secara utuh, manakala pelayanan publik disatukan dalam satu unit pelayanan saja, dan rantai ijin dipangkas menjadi satu.
4. Pola pelayanan terpusat
Pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh suatu instansi pemerintah yang bertindak sebagai koordinator terhadap pelayanan instansi pemerintah lainnya yang terkait dengan bidang pelayanan masyarakat yang bersangkutan. Pola ini mirip dengan pelayanan satu atap atau pelayanan satu pintu. Perbedaannya tergantung pada sejauh mana kewenangan koordinasi yang diberikan kepada koordinator.
5. Pola pelayanan elektronik
Pola pelayanan yang paling maju dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi yang merupakan otomasi dan otomastisasi pemberian layanan yang bersifat elektronik atau on-line sehingga dapat menyesuaikan diri dengan keinginan dan kapasitas masyarakat pengguna.
Dalam memanfaatkan WoG, terdapat beberapa prasyarat agar pendekatan ini dapat diterapkan, menurut APSC (Shergold & others, 2004) merumuskan prasyarat untuk penerapan WoG yang baik, antara lain:
1. Budaya dan filosopi
Menggabungkan dan beradaptasi dengan nilai-nilai WoG ke dalam budaya yang dianut sebelumnya merupakan keharusan agar tidak terjadi “culture shock” dalam dinamika organisasi. Berbagai informasi serta manajemen pengetahuan kerjasama juga menjadi prasyarat dalam penerapan WoG, dan tentunya kerjasama dan hubungan yang efektif top-down dan bottom-up dalam membentuk filosopi organisasi atau koordinasi yang baik.
2. Cara kerja yang baru
Hal ini berkaitan dengan bagaimana penyelenggaraan kepemimpinan yang berbagi antara satu sektor lainnya. WoG juga mensyaratkan adanya keahlian atau expertise yang melekat pada SDM yang terlibat di dalamnya. Proses yang dilakukan oleh tim WoG seyogyanya fleksibel atau tidak kaku, mengikuti perubahan yang mungkin terjadi, serta adanya sumber daya yang kooperatif.
3. Akuntabilitas dan insentif
Outcome atau pelaporan yang dibagi antar sektor, fleksibelitas serta bagaimana reward dan pengakuan menjadi bagian dari manajemen horizontal.
4. Cara baru pengembangan kebijakan serta mendesain program dan pelayanan
Collegate approach, yaitu melalui pendekatan kolegial dimana masing-masing sektor mempunyai kesetaraan dalam pengambilan keputusan/kebijakan. Selain itu juga, fokus pada outcome dari proses WoG ini, serta melaksanakan proses-proses konsultasi dan pelibatan warga masyarakat di dalamnya.
Penerapan Whole of Government di Indonesia
Penerapan WoG di Indonesia dapat dianggap sebagai perekat kebangsaan dan penjamin bersatunya elemen-elemen negara. Menurut Rahmadi (2017), terdapat beberapa aktivitas yang bisa diuapayakan oleh pemerintah untuk terwujudnya WoG, antara lain:
- Penguatan koordinasi antar lembaga
- Membentuk lembaga koordinasi khusus
- Membentuk gugus tugas yang sifatnya tidak permanen
- Melakukan koalisi sosial dengan kelompok bisnis dan kelompok masyarakat
Beberapa contoh penerapan WoG di Indonesia, antara lain:
- Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengungkapkan memalui situs resminya (2016) memiliki program pemberdayaan kawasan pedesaan. Koordinasi yang dilakukan oleh Kemenko PMK dilakukan dengan beberapa instansi dan lembaga serta kementerian lain seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
- Koordinasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah investasi ilegal. Melalui halaman media Tirto, Andreas (2018) mengungkapkan bahwa untuk melakukan pencegahan investasi ilegal , pemerintah menunjuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menjadi fasilitator, dan terdapat 13 lembaga yang terlibat dalam koordinasi tersebut. Dalam kolaborasi ini, OJK akan memberikan program capacity building kepada 13 lembaga yang terlibat, agar lembaga-lembaga tersebut lebih bertanggung jawab. Kolaborasi dan koordinasi ini dibentuk karena OJK meyakini bahwa penindakan terhadap kegiatan investasi ilegal tidak bisa dibebankan seluruhnya kepada OJK, akan tetapi juga unsur lembaga lain yang memiliki kewenangan yang sesuai dengan porsi dan domain masing-masing.
WoG dalam Lingkup Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
Berdasarkan UUD 1945 dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara Pasal 4 ayat (1) menetapkan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”
Dalam konteks governance yang baik, maka sistem penyelenggaraan peemrintahan negara adalah keseluruhan penyelenggaraan kekuasaan peemrintahan (executive power) dengan memanfaatkan dan mendayagunakan kemampuan pemerintah dan segenap aparaturnya dari semua peringkat pemerintahan beserta seluruh wakil rakyat di wilayah negara Indonesia, serta dengan memanfaatkan pula segenap dana dan daya yang tersedia secara nasional demi tercapainya tujuan negara dan terwujudnya cita-cita bangsa sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945.
Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan bagian integral dan paling dominan dalam sistem penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, operasionalisasi dari semua ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945, kecuali telah secara khusus dan jelas menjadi wewenang lembaga-lembaga negara di luar eksekutif.
WoG dalam Lingkup Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah
Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah sangat terkait erat dengan prinsip-prinsip dan tujuan pemberian Otonomi Daerah, baik keapda Daerah Propinsi maupun kepada Daerah Kabupaten dan Kota, berdasarkan asas desentralisasi.
Mengacu pada ketentuan Pasal 18A dan 18B UUD 1945:
- Hubungan wewenang, yang pelaksanaanya memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah;
- Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, yang dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang; dan
- Hubungan dalam hal pengakuan pembertukan Daerah
WoG dalam Pelayanan Publik di Lingkup Administrasi Pemerintahan
Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP), administrasi pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan sebagai unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan pemerintahan maupun penyelenggara negara lainnya.
Keputusan administrasi pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan pengertian Tindakan Adminsitrasi Pemerintahan adalah perbuatan pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Berdasarkan UU AP, administrasi pemerintahan itu sendiri bertujuan:
- Menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan
- Menciptakan kepastian hukum
- Mencegah terjaidnya penyalahgunaan wewenang
- Menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
- Memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan aparatur pemerintahan
- Melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menerapkan AUPB; dan
- Memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga masyarakat.
Birokrasi merupakan alat pemerintah untuk menyediakan pelayanan publik dan perencana, pelaksana dan pengawas kebijakan. Di negara berkembang seperti Indonesia, pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat belum bisa dikatakan baik karena pelayanan yang disediakan oleh pemerintah terkesan “mempersusah daripada mempermudah”. Kesan negatif ini dapat dilihat tidak hanya dari performa pelayanan, namun juga dari lemahnya koordinasi antar departemen yang berimplikasi pada ketidakefisienan dan ketidakefektifan manajemen dan kesenjangan antara pemerintah dan agen-agen sosial tentang arah dan tujuan pelayanan publik.
Padahal, kebutuhan dan kesadaran masyarakat terhadap pelayanan publik yang prima semakin tinggi. Masyarakat terus menginginkan pelayanan cepat, aman dan nyaman. Maka dari itu, sebuah evolusi administrasi publik melalui pendekatan “Whole of Government” yang telah diterapkan di berbagai negara dalam melayani masyarakat sangat tepat diterapkan di Indonesia, dengan prinsip kolaborasi dan prinsip satu tujuan sehingga latar dalam pelayanan dapat mengacu asas efektif dan efisien.
Indonesia adalah salah satu negaraa di dunia yang sedang berjuang mengimplementasikan Whole of Government. Untuk mencapai good governance dalam tata pemerintahan di Indonesia, maka prinsip-prinsip Whole of Government menjadi terobosan yang perlu diambil dalam berbagai institusi penting pemerintahan. Terselenggaranya WoG bertumpu pada prinsip-prinsip pokok seperti partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, kepedulian, orientasi pada konsensus, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas dan visi strategis. Untuk itu apa yang didambakan Indonesia mewujudkan pemerintahan bersih dan bagus (clean and good governance) dapat terwujud. Hal ini diiringi dengan usaha untuk meminimalisir faktor-faktor negatif seperti kepentingan politik yang merugikan, KKN, peradilan yang tidak adil, bekerja di luar kewenangan dan kurangnya integritas dan transparansi. Faktor-faktor di atas masih menjadi masalah serius bagi Indonesia sehingga pemerintahan belum terselenggara dengan baik. Di samping itu, harmonisasi antara pemerintah dan masyarakat masih menjadi pekerjaan rumah yang serius. Whole og Government adalah cita-cita dan upaya untuk mencapai pemerintahan yang baik, aspiratif, transparan, efektif dan efisien.
- 232962 reads