Aparatur Sipil Negara (Penyuluh) yang Berkarakter

Tanggal 28 April 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan penuh apresiasi / penuh kebanggaan melantik rimbawan / Aparatur Sipil Negara (ASN) sebanyak 347 orang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2017. Pada saat tersebut Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu Ibu Siti Nurbaya menyampaikan  bahwa apa bila telah dilantik menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) berarti kita berada dalam ruang lingkup publik, dan berinteraksi dengan Warga Negara. Secara umum ada ciri-ciri public life principles yang harus diketahui ketika anda semua memasuki dunia publik, bekerja sebagai public servants atau abdi negara dan abdi masyarakat saat itu ibu menteri menyampaikan 7 (tujuh) ciri-ciri public life principles yang wajib dimiliki oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), yaitu (1) tidak berpikir untuk sendiri (selflessness); (2) integritas (integrity); (3) obyektif (objectivity); (4) akuntabel (accountability);     (5) terbuka (openness); (6) kejujuran (honesty); dan (7) kepemimpinan (leadership. Dalam pertemuan tersebut dijelaskan (1) Tidak berpikir untuk sendiri artinya mengutamakan kepentingan publik, dan tidak berbuat dalam rangka memperoleh keuntungan material untuk dirinya sendiri, keluarga atau teman-temannya;           (2) integritas yaitu tidak terikat pada ikatan diluar kantor dalam bentuk ikatan finansial, ataupun kewajiban lainnya yang dapat mempengaruhi didalam menjalankan kewajibannya; (3) bersikap obyektif dalam melaksanakan urusan publik, termasuk dalam hal perjanjian publik, kontrak kerja dengan berbagai pihak serta dalam merekomendasikan untuk penghargaan dan hukuman harus berdasarkan sistem merit; (4) bersikap akuntabel dalam keputusannya serta langkah-langkah di lapangan, dan kesiapan dalam menerima pendalaman, pemeriksaan ataupun gugatan publik, sisi lain dari responsible (tanggung jawab), maka itu sering disebutkan pentingnya akuntabel transparan supaya tidak korupsi; (5) sikap terbuka ASN dimaksudkan agar ASN bersikap transparan terkait semua keputusan-keputusan yang diambil beserta alasan-alasannya, serta menjaga informasi hanya dalam situasi dimana masyarakat luas menghendaki dengan permintaan, dan pertimbangan yang jelas; (6) kejujuran (honesty) berarti melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan yang berlaku dan (7) kepemimpinan (leadership) sebagai perwujudan dalam pelaksanaan tugas kerja cerdas, kerja iklas dan kerja tuntas guna menuju profesional.

Sebagai acuan dari implikasi  ketujuh public servants atau abdi negara dan abdi masyarakat yang berkarekter sejatinya Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pada Tanggal 13 April 2007 telah menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE.01/Menhut-II/2007 tentang Sembilan Nilai Dasar Rimbawan yang merupakan penjabaran dari empat kriteria utama sumberdaya manusia aparatur kehutanan dalam menjaring pejabat-pejabat dalam lingkup Departemen kehutanan. Maksud dari sembilan nilai dasar rimbawan ini dalam rangka pembentukan Sumber Daya Manusia Kehutanan yang proporsional dalam pengelolaan hutan secara adil dan lestari yang didasari iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia. Nilai dasar rimbawan yang merupakan komitmen spiritual rimbawan dalam melaksanakan tugas pembangunan kehutanan tersebut harus dihayati, dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh rimbawan. Sembilan nilai dasar rimbawan tersebut adalah: (1) Jujur, adalah sikap ketulusan hati dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya. (2) Tanggung jawab, adalah kemauan dan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan pekerjaan yang diserahnkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat waktunya serta berani memikul resiko atas putusan yang diambil atau tindakan yang dilakukannya. (3) Ikhlas, adalah sikap rela sepenuh hati, datang dari lubuk hati, tidak mengharapkan imbalan atau balas jasa atas sesuatu perbuatan khususnya yang berdampak positif pada orang lain, dan semata-mata karena menjalankan tugas atau amanah dari Tuhan Yang Maha Esa. (4)Disiplin, adalah sikap mental yang tercermin dalam perbuatan dan perilaku pribadi atau kelompok, berupa kepatuhan dan ketaatan terhadap aturan kerja, hukum dan norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dilakukan secara sadar. (5) Visioner, adalah mempunyai wawasan/pandangan jauh ke masa depan dan arah tujuan yang ingin diwujudkan. (6) Adil, adalah perbuatan yang dilandasi rasa tidak sewenang-wenang, tidak memihak (netral) serta proporsional sesuai peraturan/hukum yang berlaku. (7) Peduli, adalah sikap memperhatikan orang lain dan lingkungan sebagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri. (8) Kerjasama, adalah kemauan dan kemampuan untuk bekerjasama dengan semua pihak dalam menyelesaikan suatu tugas yang ditentukan sehingga mencapai hasil guna dan daya guna yang sebesar-besarnya. (9) Profesional, adalah kemampuan konseptual, analisis dan teknis dalam bekerja yang diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan yang dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, berorientasi penghargaan dan kepuasan bersama sehingga keputusan dan tindakannya didasari atas rasionalitas dan etika profesi.

Apabila kita telaah lebih lebih lanjut tentunya 9 (sembilan) Nilai Dasar Rinbawan tersebut akan dapat menempatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) / khususnya rimbawan terlebih lagi penyuluh kehutanan menjadi pribadi yang berkarekter. Selanjutnya timbul pertanyaan bagaimana menjadi penyuluh kehutanan yang berkarekter sehingga dapat menerapkan 9 nilai dasar rimbawan tersebut ????

Pengertian Karakter

Karakter berasal dari bahasa latin “kharakter” “kharsein”, ”kharax” dalam bahasa inggris: ”character” dan dalam bahasa indonesia “karakter‟‟ dalam bahasa yunani character dan charassein yang artinya membuat tajam, membuat dalam. Dalam kamus poerwardarminta, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Menurut Scerenco mendefinisikan karakter sebagai atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan kompleksitas mental dari seseorang,suatu kelompok atau bangsa. Sedangkan menurut Herman kertajaya mengemukakan bahwa karakter adalah ciri khas yang dimiliki seseorang dan ciri khas tersebut adalah asli mengakar pada kepribadian seseorang tersebut, dan merupakan mesin pendorong bagaimana sesorang bertindak, bersikap, berujar, dan merespon sesuatu.

Dari beberapa pengertian yang telah dijelaskan, dapat dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas atau moral, akhlak, atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus, yang menjadi pendorong dan penggerak, serta membedakanya dengan individu lain. Seseorang dapat dikatakan berkarakter, jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat, serta digunakan sebagai moral dalam hidupnya.  Pendapat ini ditegaskan kembali oleh Hunter (2001) mengemukakan ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai luhur universal : (1) karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) kemandirian dan tanggungjawab; (3) kejujuran/amanah, diplomatis; (4) hormat dan santun;         (5) dermawan, suka tolong-menolong dan gotong-royong/kerjasama; (6) percaya diri dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (8) baik dan rendah hati; dan (9) karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.  Kesembilan pilar karakter itu diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan, sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.

Untuk mewujutkan hal tersebut khususnya penyuluh kehutanan  yang berkarekter maka pelaksanaan penyuluh kehutanan yang berkarekter harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) Harus tahu tujuan penyuluhan Kehutanan; (2) Harus tahu falsafah penyuluhan Kehutanan dan (3) Harus tahu prinsip penyuluhan kehutnan.

1. Harus tahu Tujuan Penyuluh Kehutanan.

Istilah penyuluhan pada dasarnya berasal dari kata” Extension yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan kedalam perluasan atau penyebarluasan (Amri Jahi, 1984 dalam Buku Pintar Penyuluhan Kehutanan, 2004). Apabila dilihat dari etimologi istilah penyuluhan berasal dari kata  Suluh yang berarti  pemberi terang ditengah kegelapan. Dengan demikian maka penyuluhan dapat diartikan sebagai proses untuk memberikan penerangan kepada masyarakat tentang sesuatu yang “belum diketahui dengan jelas” untuk di laksanakan / diterapkan dalam rangka peningkatan produksi dan pendapatan / keuntungan yang ingin dicapai melaui proses pembangunan. Penerangan dalam pengertian penyuluhan  tidaklah sekedar memberitahu akan tetapi penerangan yang dilakukan secara terus menerus sampai betul-betul diyakini oleh para penyuluh bahwa segala sesuatu yang diterangkan tadi benar-benar telah dipahami, di hayati dan dilaksanakan oleh masyarakat / kelompok tani hutan yang diberi penyuluhan.  Disamping itu pengertian penyuluhan dapat juga diartikan sebagai proses perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan keterampilan) dikalangan masyarakat, agar mereka tahu, mau dan mampu melakukan perubahan-perubahan demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan /keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga  / masyarakat /kelompok tani hutan  yang ingin dicapai melalui pembangunan. Dengan demikian maka penyuluhan kehutanan dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku masyarakat terutama yang tinggal di dalam dan disekitar kawasan hutan melalui pendidikan nonformal dalam rangka peningkatan kesejahteraan dengan senantiasa memperhatikan pelestarian sumber daya hutan dan fungsi lingkungan hidup secara partisipatif dan berwawasan gender. Didalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Dan Kehutanan dimana Penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan yang  selanjutnya disebut penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.  selanjutnya di Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Pasal 56 disebutkan tujuan Penyuluhan Kehutanan Adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan atas dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumberdaya hutan bagi kehidupan manusia. Dan didalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.57/Menhut-Ii/2014 Tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani Hutan, yang dimaksud dengan  Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga  definisi Penyuluhan Kehutanan adalah proses pengembangan pengetahuan, sikap dan perilaku kelompok masyarakat sasaran agar mereka tahu, mau dan mampu memahami, melaksanakan dan mengelola usaha-usaha kehutanan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan sekaligus mempunyai kepedulian dan berpartisipasi aktif dalam pelestarian hutan dan lingkungan.

2. Harus tahu Falsafah Penyuluhan Kehutanan

Didalam penyelengaraaan penyuluhan, seorang penyuluh dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya maka dikenal dengan adanya falsafah penyuluhan kehutanan.  Menurut Butt (1961, dalam buka  pintar penyuluhan kehutanan) falsafah diartikan sebagai suatu pandangan hidup atau landasan pemikiran yang bersumber pada kebijakan moral tentang segala sesuatu yang akan dan harus diterapkan dalam perilaku atau praktek kehidupan sehari-hari. Dengan dasar pemikiran seperti itu,maka falsafah penyuluhan kehutanan adalah sebagai upaya membantu masyarakat agar mereka dapat membantu dirinya sendiri dan meningkatkan harkatnya sebagai manusia.  Didalam bahasa praktis di lapangan, penyuluhan merupakan upaya membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi masyarakat, sedemikian rupa agar pada akhitnya mereka mempu mengatasi segala masalah yang akan dihadapat dimasa depan.  Dalam penyuluhan ada tiga falsafah pokok yang harus dipegang dalam menyelenggarakan penyuluhan yaitu : (1) Penyuluhan merupakan proses pendidikan; (2) Penyuluhan merupakan proses demokrasi; (3) Penyuluhan merupakan proses yang terus-menerus.

Falsafah penyuluhan merupakan proses pendidikan, dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pada dasarnya kelakuan/ perilaku dipengaruhi oleh pengetahuan, kecakapan/ketrampilan dan sikap mentalnya. Dengan adanya penyuluhan, maka pengetahuan, kecakapan/ ketrampilan dan sikap mental masyarakat akan mengalami perubahan, yang berarti perilaku /kelakuan dan bentuk kegiatannya akan berubah. Disamping itu, falsafah ini dilandasi juga oleh suatu pemikiran bahwa apabila seseorang ingin mengetahui seseuatu harus mau belajar, berusaha mencari pengalaman,baik pengalaman sendiri maupun belajar pengalaman orang lain.

3. Harus tahu Prinsip prinsip penyuluhan kehutanan

Prinsip adalah sesuatu pernyataan tentang kebijaksanaan yang dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan dan melaksanakan kegiatan secara konsisten. Dengan demikian maka prinsip berlaku umum, dapat diterima secara umum dan telah diyakini kebenarannya sehingga dapat dijadikan sebagai landasan pokok bagi pelaksanaan suatu kegiatan.  Bertitik dari pemahaman tersebut maka prinsip-prinsip penyuluhan kehutanan adalah : (1) Mengerjakan : artinya kegiatan penyuluhan harus sebanyak mungkin melibatkan masyarakat dalam mengerjakannya /menerapkan sesuatu; (2) Akibat : artinya kegiatan penyuluhan kehutanan harus memberikan akibat atau pengaruh yang baik dan bermanfaat; (3) Integratif dan asosiasi : artinya setiap kegiatan penyuluhan kehutanan harus dikaitkan dengan kegiatan lainnya yaitu terintegrasi Lebih lanjut Dahama dan bhatnagar (dalam buku pintar penyuluhan kehutanan, 1997) mengungkapkan bahwa prinsip-prinsip penyuluhan yang lainnya yaitu : (1) Minat dan kebutuhan, artinya penyuluhan kehutanan akan efektif jika selalu mengacu kepada minat dan kebutuhan masyarakat; (2) Organisasi masyarakat bawah, artinya penyuluhan kehutanan akan efektif jika mampu melibatkan / membentuk organisasi masyarakat bawah, sejak dari keluarga / kekerabatan,kelompok tani dan perhimpunan; (3) Keragaman budaya, artinya penyuluh kehutanan harus memperhatikan adanya keragaman budaya; (4) Perubahan budaya, artinya setiap kegiatan penyuluhan akan mengakibatkan perubahan budaya; (5) Kerjasama dan partisipatif, artinya penyuluhan kehutanan hanya akan efektif jika mampu mengerakan masyarakat untuk selalu berkerja sama dalam melaksanakan program-program penyuluhan yang telah di rancang; (6) Demokrasi dan penerapan ilmu, artinya  dalam penyuluhan kehutanan harus selalu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih laternatif ilmu yang ingin diterapkannya; (7) Belajar sambil bekerja, artinya dalam kegiatan penyuluhan kehutanan harus di upayakan agar masyarakat dapat belajar sambil bekerja atau belajar dari pengalaman tentang  segala sesuatu yang dikerjakan; (8) Penggunaan metode yang sesuai, artinya dalam penyuluhan kehutanan harus menerapkan metode penyuluhan yang sesuai dengan kondisi lingkungan fisik, kemampuan ekonomi dan nilai budaya masyarakat sasaran; (9) Kepeimpinan, artinya penyuluh kehutanan tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang hanya bertujuan untuk kepentingan sendiri; (10) Profesional, artinya seorang penyuluh harus benar-benar memiliki keahlian tertentu yang diperoleh dari pendidikan dan pelatihan serta mencintai pekerjaannya; (11) Segenap keluarga, artinya penyuluh kehutanan harus memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit social, sehingga penyuluh harus dapat mempengaruhi segenap anggota keluarga, mengembangkan pemahaman bersama dan mengembangkan kegiatan-kegiatan keluarga (12) Kepuasan, artinya penyuluh kehutanan harus mampu mewujudkan tercapainya tujuan yang diinginkan dan mencapai kepuasan.

Apabila kita laksanakan dengan baik dan benar maka harapan penyuluh kehutanan yang berkarekter akan terwejud, tentunya perwujudan dari penyuluh yang berkarekter tersebutkan akan memberikan dampak pada penyuluh sebagai fasilitator, motivator, inspirator dan inovator bagi kelompok tani hutan binaannya.

Selamat hari lingkungan hidup jaga hutan hutan, jaga lingkungan kita bangkitkan semangat  untuk mewujudkan penyuluh yang berkarekter.Save Forest Babel.

 

State Civil Apparatus (Extension) with Character

On April 28, 2018, the Ministry of Environment and Forestry, with full of appreciation / full of pride in setting up foresters / State Civil Apparatus (ASN) as many as 347 candidates for Civil Servants (CPNS) within the Ministry of Environment and Forestry in 2017. At that time Mother The Minister of Environment and Forestry, Mrs. Siti Nurbaya said that if it was appointed as the State Civil Apparatus (ASN), we would be in the public sphere, and interact with citizens. In general, there are characteristics of public life principles that must be known when all of you enter the public world, work as public servants or public servants and public servants at that time the minister of ministries delivered 7 (seven) characteristics of public life principles that must be owned by Civil Apparatus State (ASN), namely (1) not thinking for themselves (selflessness); (2) integrity (integrity); (3) objective (objectivity); (4) accountable (accountability); (5) openness; (6) honesty; and (7) leadership (leadership. In the meeting explained (1) Not thinking for himself means prioritizing the public interest, and not acting in order to obtain material benefits for himself, family or friends, (2) integrity that is not bound to bond outside the office in the form of financial ties, or other obligations that can affect in carrying out its obligations; (3) being objective in carrying out public affairs, including in terms of public agreements, work contracts with various parties and in recommending awards and penalties based on merit systems (4) being accountable in their decisions and steps in the field, and readiness in receiving deepening, examination or public claims, the other side of responsibility (responsibility), then it is often mentioned the importance of transparent accountable so as not to corruption; (5) attitude open ASN is intended for ASN to act transparently information related to all decisions taken along with the reasons, as well as maintaining information only in situations where the wider community wants it by request, and clear consideration; (6) honesty means carrying out tasks in accordance with applicable regulations and (7) leadership (leadership) as an embodiment in the implementation of smart work tasks, sincere work and complete work towards professionalism.

As a reference for the implications of the seven public servants and public servants who have a true context in the Ministry of Environment and Forestry On April 13, 2007, issued Circular Number: SE.01 / Menhut-II / 2007 concerning Nine Basic Foresters' Value which is an elaboration of the four main criteria for human resources are forestry apparatus in capturing officials within the Ministry of Forestry. The purpose of the nine basic values ​​of these foresters is to establish proportional Forestry Human Resources in fair and sustainable forest management based on faith and piety to the Almighty God and aware of the importance of forest resources for human life. Foresters 'basic values, which are foresters' spiritual commitments in carrying out forestry development tasks, must be lived out, understood and implemented by all foresters. The nine foresters' basic values ​​are: (1) Honest, is the attitude of sincerity in carrying out their duties and the ability to not abuse the authority given to them. (2) Responsibility, is the willingness and ability of a person to complete the work assigned to him as well as possible and on time and dare to bear the risk of decisions taken or actions taken. (3) Sincerity, is a willingness to wholeheartedly, come from the bottom of the heart, do not expect rewards or remuneration for something in particular that has a positive impact on others, and solely because of carrying out the duties or mandates of God Almighty. (4) Discipline, is a mental attitude that is reflected in actions and personal or group behavior, in the form of obedience and obedience to work rules, laws and norms of life in a society, nation, and state that are carried out consciously. (5) Visionary, is to have insight / insight into the future and the direction of the goals to be realized. (6) Fair, is an act based on a sense of not arbitrary, impartial (neutral) and proportional in accordance with regulations / applicable law. (7) Care, is the attitude of caring for others and the environment as he treats himself. (8) Collaboration, is the willingness and ability to cooperate with all parties in completing a specified task so as to achieve maximum results and usability. (9) Professionals, are conceptual, analytical and technical abilities in work obtained through education or training that are carried out with full responsibility, oriented appreciation and mutual satisfaction so that their decisions and actions are based on rationality and professional ethics.

If we examine it further, of course, 9 (nine) Rinbawan's Basic Values ​​will be able to place the State Civil Apparatus (ASN) / especially foresters, especially forestry instructors to become person who has a character. Next comes the question of how to become a forestry counselor so that they can implement 9 foresters' basic values ​​????

Understanding Character

The characters come from the Latin "kharakter" "kharsein", "kharax" in English: "character" and in Indonesian "character" in Greek character and charassein which means to make sharp, make in. In the poerwardarminta dictionary, character is defined as character, character, mentality, character or character that distinguishes one from another. According to Scerenco defines character as an attribute or characteristics that shape and distinguish personal characteristics, ethical characteristics, and mental complexity of a person, a group or nation. Whereas according to Herman Kertajaya stated that character is a characteristic that is owned by someone and that characteristic is original rooted in someone's personality, and is a driving machine for how someone acts, behaves, says, and responds to something.

From some of the meanings that have been explained, it can be stated that character is a quality or moral, moral, or individual character which is a special personality, which becomes a driver and driver, and distinguishes it from other individuals. A person can be said to have character, if he has succeeded in absorbing the values ​​and beliefs desired by society, and is used as a moral in his life. This opinion is reaffirmed by Hunter (2001) arguing that there are nine pillars of character derived from universal noble values: (1) the character of God's love and all of His creations; (2) independence and responsibility; (3) honesty / trustworthiness, diplomatic; (4) respect and courtesy; (5) generous, like helping and mutual cooperation / cooperation; (6) confident and hard worker; (7) leadership and justice; (8) kind and humble; and (9) character of tolerance, peace and unity. The nine character pillars are taught systematically in a holistic education model using the method of knowing the good, feeling the good, and acting the good. Knowing the good can be easily taught because knowledge is cognitive. After knowing the good, feeling loving the good must be cultivated, that is feeling and loving virtue becomes an engine that can make people always want to do something good, so that awareness grows that people want to do virtuous behavior because they love the virtuous behavior. After getting used to doing virtues, acting the good turns into a habit.

To point out this, especially forestry extension workers who are skilled, the implementation of the forestry instructor who has a concern must pay attention to the following: (1) Must know the purpose of forestry extension; (2) Must know the philosophy of forestry counseling and (3) Must know the principles of counseling for forestry.

1. Must know the objectives of the forestry extension agent.

The term education basically comes from the word "Extension" which in Indonesian is translated into expansion or dissemination (Amri Jahi, 1984 in the Smart Book of Forestry Extension, 2004). When viewed from the etymology, the term extension comes from the word Suluh which means the giver of light in the midst of darkness. Thus, counseling can be interpreted as a process to provide information to the public about something that "is not clearly known" to be carried out / implemented in order to increase production and income / profits to be achieved through the development process. Lighting in terms of counseling is not merely telling but lighting is carried out continuously until it is truly believed by the instructors that everything explained earlier is truly understood, lived and carried out by the community / forest farmer groups who were given information. Besides that the understanding of counseling can also be interpreted as a process of behavior change (knowledge, attitudes and skills) among the community, so that they know, want and are able to make changes to achieve increased production, income / profits and improvement of family / community / forest farmer group welfare what you want to achieve through development. Thus, forestry counseling can be interpreted as a process of changing people's behavior, especially those living in and around forest areas through non-formal education in order to improve welfare by always paying attention to the preservation of forest resources and environmental functions in a participatory and gender perspective manner. In the Republic of Indonesia Law Number 16 of 2006 concerning the Agricultural, Fisheries and Forestry Extension System where extension of agriculture, fisheries and forestry, hereinafter referred to as extension, is the learning process for the main actors and business actors so that they are willing and able to help and organize themselves in accessing information market, technology, capital, and other resources, as an effort to increase productivity, business efficiency, income, and welfare, and increase awareness in preserving environmental functions. then in Law Number 41 of 1999 concerning Forestry, Article 56 states the purpose of Forestry Extension is to increase knowledge and skills and change attitudes and behavior of people to be willing and able to support forestry development on the basis of faith and piety to the Almighty God and be aware the importance of forest resources for human life. And in the Regulation of the Minister of Forestry of the Republic of Indonesia Number: P.57 / Menhut-I / 2014 concerning Guidelines for Fostering Forest Farmers Groups, what is meant by Extension is the learning process for key actors and business actors so that they are willing and able to help and organize themselves in accessing information market, technology, capital, and other resources, as an effort to increase productivity, business efficiency, income and welfare, and increase awareness in preserving environmental functions, so that the definition of Forestry Extension is the process of developing the knowledge, attitudes and behavior of targeted community groups know, want and are able to understand, implement and manage forestry businesses to increase income and welfare while having concern and actively participating in forest and environmental conservation.

2. Must know the philosophy of forestry extension

In the implementation of counseling, an instructor in carrying out his main duties and functions is known as the philosophy of forestry counseling. According to Butt (1961, in open smart forestry counseling) philosophy is defined as a view of life or a rationale based on moral policy about everything that will and should be applied in the behavior or practice of everyday life. With such a rationale, the philosophy of forestry education is as an effort to help the community so that they can help themselves and increase their dignity as human beings. In practical language in the field, counseling is an effort to help solve problems faced by the community, so that in the end they can overcome any problems that will be faced in the future. In counseling there are three main philosophies that must be held in conducting counseling, namely: (1) Extension is an educational process; (2) Extension is a democratic process; (3) Extension is a continuous process.

Extension philosophy is an educational process, based on a notion that basically behavior / behavior is influenced by knowledge, skills / skills and mental attitudes. With counseling, the knowledge, skills / skills and mental attitude of the community will change, which means that the behavior / behavior and form of activity will change. Besides that, this philosophy is also based on the idea that if someone wants to know something they have to be willing to learn, try to find experience, both their own experiences and learn other people's experiences.

3. Must know the principle of forestry extension

Principle is a statement of wisdom that is used as a guideline in making decisions and carrying out activities consistently. Thus the principle applies generally, can be accepted in general and has been believed to be truthful so that it can be used as a basic foundation for the implementation of an activity. Based on this understanding, the principles of forestry extension are: (1) Working on: means that extension activities should involve the community as much as possible in doing / implementing something; (2) Consequences: means that forestry extension activities must have a good and beneficial effect or effect; (3) Integrative and associations: meaning that each forestry extension activity must be associated with other activities, namely integrated further Dahama and bhatnagar (in the forestry extension smart book, 1997) revealing that other counseling principles are: (1) Interests and needs, meaning that forestry extension will be effective if it always refers to the interests and needs of the community; (2) Lower community organizations, meaning that forestry counseling will be effective if it is able to involve / form lower community organizations, from family / kinship, farmer groups and associations; (3) Cultural diversity, meaning that forestry extension agents must pay attention to cultural diversity; (4) Change in culture, meaning that every extension activity will result in cultural change; (5) Collaborative and participatory means forestry extension will only be effective if it is able to mobilize the community to always work together in implementing extension programs that have been designed; (6) Democracy and the application of knowledge, meaning that in forestry counseling must always provide opportunities for the community to choose the alternative knowledge they want to apply; (7) Learning while working, means that in forestry extension activities it must be sought so that the community can learn while working or learn from experience about everything that is done; (8) Use of appropriate methods, meaning that in forestry counseling must apply extension methods that are in accordance with the conditions of the physical environment, economic capacity and cultural values ​​of the target community; (9) Leadership, meaning that forestry instructors do not carry out activities which are only for their own purposes; (10) Professionals, meaning that an instructor must have certain skills acquired from education and training and love his work; (11) All families, meaning that forestry instructors must pay attention to the family as a unit of social unit, so extension agents must be able to influence all family members, develop mutual understanding and develop family activities (12) Satisfaction, meaning forestry extension agents must be able to realize the achievement of goals desired and achieve satisfaction.

If we carry out it well and correctly, the hope that the skilled forestry instructor will be implemented is, of course, the embodiment of the instructor who will be engaged in this will have an impact on the instructor as a facilitator, motivator, inspiration and innovator for the assisted forest farmer groups.

Happy days to protect the forest, environment, keep our environment uplifting to realize counselors who are skilled. Save Forest Babel.

Penulis: 
Darman Suriah, S.Hut - Penyuluh Kehutanan Madya DISHUT
Sumber: 
BKPSDMD

Artikel

18/07/2017 | Abdul Sani, S.Pd.I - Widyaiswara Muda pada BKPSDMD Babel
441,127 kali dilihat
20/11/2017 | Syanti Gultom, A.Md - Dinas Koperasi, UKM
424,414 kali dilihat
07/11/2018 | Jimmy Arief Saud Parsaoran, S.T. - Prakom Pertama BKPSDMD
234,141 kali dilihat
31/08/2018 | Jimmy Arief Saud Parsaoran, S.T. - Prakom Pertama BKPSDMD
205,221 kali dilihat
07/12/2017 | Herru Hardiyansah, S.Kom. - Prakom Muda BKPSDMD
142,440 kali dilihat