Fungsi sentral negara adalah menyiapkan, menemukan dan mejalankan atas nama dan untuk keseluruhan masyarakat di daerah kekuasaanya. Hukum memberikan legitimasi bagi pelaksanaan kebijaksanaan publik dan alat untuk melaksanakan kebijaksanaan, agar rencana pembangunan mendapat kekuatan dalam pelaksanaannya maka perlu mendapatkan status formal atau dasar hukum tertentu.
Terkait pembahasan kebijakan publik penulis akan mencoba mengambil salah satu kebijakan yang telah di keluarkan atau diputuskan oleh pejabat publik, seperti Moratorium Pegawai Negeri sipil, berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan. Nomor 02/SPB/M.PAN-RB/8/2011, Nomor 800-632 Tahun 2011, Nomor 141/PMK.01/2011. Tentang Penundaan Sementara Penerimaan Pegawai Negri Sipil.
Pelaksanaan moratorium penerimaan CPNS ini dilakukan pada tanggal 1 September 2011 sampai dengan 31 Desember 2012 bahkan diperjanjang hingga saat ini. Tentunya berdasarkan Peraturan Bersama tentang Penundaan Sementara Penerimaan CPNS. Namun tidak menutup kemungkinan bagi daerah yang mempunyai peluang menerima pegaiwai karena alasan pertimbangan bahwa kebijakan ini dianggap kurang adil karena ada daerah yang jumlah pegawainya gemuk sekali dan ada daerah yang sangat kurang sekali, maka dari itu daerah yang diberikan kemungkinan juga harus melengkapi beberapa persyaratan diantaranya melakukan perhitungan kebutuhan pegawai, analisis jabatan serta analisis beban kerja sesuai dengan Permenpan-RB No. 26 Tahun 2011 tentang Pedoman Perhitungan Jumlah Kebutuhan PNS yang tepat untuk daerah, yang apabila daerah yang bersangkutan tidak melakukannya maka tidak akan diberikan formasi.
Kebijakan Moratorium penerimaan CPNS ini adalah upaya pemerintah dalam melakukan penataan pegawai di instansi-instansi pemerintah dan bukan sekadar penundaaan penerimaan CPNS. Banyak hal yang mendasari dikeluarkannya kebijakan ini oleh pihak pejabat terkait, antara lain dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi mengoptimalkan kinerja sumber daya manusia serta efesiensi anggaran belanja pegawai yang telah ada perlu dilakukan penataan oraganisasi serta penataan pegawai negeri sispil. Maka untuk mewujudkan hal demikian maka berdasarkan kebijakan bersama tiga menteri mesti dilakukan penundaan sementara pengadaan Pegawai Negeri sipil.
Moratorium penerimaan CPNS tentu akan menimbulkan masalah baru yang penulis anggap dapat dijadikan pertimbangan atau dapat diantisiapasi oleh pejabat publik terkait diantaranya nasib pegawai honorer serta akan menunmpuknya jumlah Penganguran dimana setiap tahun akan meningkat dan pada dasarnya banyak hal yang perlu lagi di analisis dalam kebijakan moratorium penerimaan CPNS ini.
Dengan demikian kebijakan pemerintah dalam hal ini menteri terkait dengan kebijakan bersama mengeluarakan Moratorium penerimaan CPNS dapat kita cermati sebagai kebijakan yang mempunyai nilai-nilai serta tujuan yang tepat dan baik, program dalam praktek dan evaluasinya, serta informasi dan monitoring, adalah unsur-unsur yang dapat mnguji kebijakan ini.
Moratorium penerimaan CPNS menjadi terobosan yang berani, meskipun disisi lain cukup banyak juga yang merasa kecewa dengan moratorium penerimaan CPNS. Pegawai honorer daerah, fresh graduate yang ingin jadi PNS terpaksa harus mengurungkan kembali niatnya karena moratorium penerimaan CPNS. Meski demikian, ada perkecualian dalam moratorium penerimaan CPNS yaitu untuk tenaga pendidik, dokter, bidan, perawat dan jabatan yang bersifat khusus dan mendesak.
Tingginya animo masyarakat untuk menjadi PNS, dan sejarah kebijakan rekrutmen CPNS yang tidak konsisten membuat moratorium penerimaan CPNS ini menjadi perdebatan. Pada periode 1999-2004, Menpan Faisal Tamim sudah melakukan kebijakan moratorium, namun penerusnya Menpan Taufiq Effendi justru membuka keran pengangkatan CPNS lebar-lebar. Pada masa Menpan dan reformasi birokrasi, EE. Mangindaan per 24 Agustus 2011 yang lalu bersama Kemendagri dan Kemenkeu mengeluarkan kembali kebijakan Moratorium PNS.
Keluarnya Moratorium penerimaan CPNS ini dilatarbelakangi oleh kurang efektifnya kebijakan zero growth CPNS/kebijakan pertumbuhan nol CPNS, membengkaknya jumlah PNS dan tersedotnya anggaran Negara untuk membiayai belanja pegawai. Kebijakan zero growth CPNS dengan hanya merekrut CPNS baru untuk menggantikan PNS yang pensiun, dipecat, atau mengundurkan diri, selama ini dipandang belum memberi dampak yang berarti untuk merampingkan jumlah PNS. Meskipun diberlakukan zero growth, namun sebenarnya pertumbuhan PNS tidak pernah benar-benar nol persen.
Hal ini dapat dilihat dari terus adanya formasi CPNS yang ada pada setiap tahun selalu melebihi jumlahnya dari PNS yang pensiun, dipecat atau mengundurkan diri. Proses rekrutmen CPNS yang ditengarai kurang mengacu pada merit system atau system yang mengedepankan profesionalisme dan kompetensi pegawai menjadi gejala umum dalam rekrutmen dan pengangkatan CPNS. Birokrasi menjadi sering tidak berdaya dan sangat lemah ketika diintervensi oleh kepentingan politik dalam pengangkatan CPNS. Analisis jabatan dan analisis beban kerja pegawai selama ini lebih banyak berhenti sebagai dokumen kepegawaian di Baperjakat, dan seringkali kurang mendapat perhatian dari yang berwenang membina pegawai.
Data membengkaknya jumlah PNS menurut Menpan per Mei 2011 ada 4.708.330 orang. Dari data tersebut 19,5 persen atau 916.493 PNS Pusat, sedangkan 80,5 persen atau sekitar 3.791.837 adalah PNS Daerah. Bagi Daerah, konsekuensi dari besarnya jumlah PNS yang dimiliki adalah besarnya anggaran yang harus disediakan untuk belanja pegawai, yang dianggarkan dari Dana Alokasi Umum. Dalam rancangan Nota KeuanganRAPBN 2012, DAU telah dianggarkan sejumlah 269,5 trilyun, sedangkan belanja pegawai mencapai 215,7 trilyun. Ini menunjukkan bahwa hampir sebagian besar DAU dialokasikan untuk belanja pegawai. Tersedotnya Dana Alokasi Umum diberbagai daerah untuk belanja pegawai memang menjadi fenomena yang mengarah pada kurang sehatnya anggaran, terutama anggaran Daerah. Disisi lain telah ditentukan bahwa anggrang belanja untuk pegawai tidak boleh melebihi dari 50% APBD.
Dana Alokasi Umum ditujukan untuk pemerataan kemampuan keuangan antara daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Hanya ironisnya, tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah ini sendiri kurang tercapai.
Daerah lebih banyak mengalokasikan DAU untuk belanja pegawai. Bahkan ada daerah yang juga kurang bijaksana yaitu menambah jumlah PNS Daerah untuk mendapatkan DAU yang lebih besar. Data lain yang dapat dicermati dari pengamatan APBD adalah besaran persentase belanja pegawai dalam APBD yang masih melebihi 50 persen.
Belanja pegawai ada dalam jenis belanja tidak langsung seperti gaji pokok, tunjangan, kenaikan gaji berkala. Sedangkan belanja pegawai yang masuk dalam belanja langsung seperti untuk honor. Dapat kita bayangkan, betapa kurang idealnya APBD bila separohnya lebih sudah habis untuk belanja pegawai. Tingginya belanja pegawai tentu saja membawa konsekuensi logis kurang dapat dipenuhinya belanja modal yang notabene membawa manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
Dapat kita bayangkan bagaimana Daerah mampu membiayai pembangunan dan pelayanan publik untuk menyediakan pelayanan dasar masyarakat bila sebagian anggarannya sudah terkuras untuk belanja pegawai. Dari aspek penataan kelembagaan, moratorium penerimaan CPNS dalam kerangka Reformasi Birokrasi, perlu didukung dengan pelaksanaan analisis jabatan (anjab) dan analisis beban kerja (ABK) secara tegas sebagai dasar pengadaan formasi dan rangkaian siklus manajemen kepegawaian. Formasi dan pengangkatan CPNS harus benar-benar bebas dari intervensi politik serta harus menerapkan merit system. Baperjakat juga perlu berperan secara lebih signifikan.
Namun seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa ada daerah yang sangat kurang jumlah pegawainya dan akhirnya dengan dikeluarkanya kebijakan moratorium berdampak buruk bagi pelayanan pemerintah daerah kepada masyrakat. Moratorium telah secara otomatis berpengaruh terhadap basic ilmu pegawai yang bersangkutan, sehingga tidak mustahil di dalam satu dinas atau badan akan terjadi penumpukan jumlah tenaga dengan basic ilmu yang sama. Akibatnya dinas lain mengalami kekurangan pegawai. Hal ini apabila menyesuaikan dengan kebijakan atau aturan yang dikeluarkan pemerintah pusat, kebijakan tersebut membawa dampak negatif. Tetapi bukan berarti tidak berdampak positif bagi pemerintah daerah.
Tujuan dari moratorium ini secara singkat dapat kita lihat jikalau kita mengkaji dari konsep sebab akibat maka kita mencari sebab di keluarkanya kebijakan ini. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya Keluarnya Moratorium penerimaan CPNS ini dilatar belakangi oleh kurang efektifnya kebijakan zero growth CPNS/kebijakan pertumbuhan nol CPNS, membengkaknya jumlah PNS dan tersedotnya anggaran Negara untuk membiayai belanja pegawai. Kebijakan zero growth CPNS dengan hanya merekrut CPNS baru untuk menggantikan PNS yang pensiun, dipecat, atau mengundurkan diri, selama ini dipandang belum memberi dampak yang berarti untuk merampingkan jumlah PNS. Meskipun diberlakukan zero growth, namun sebenarnya pertumbuhan PNS tidak pernah benar-benar nol persen. Untuk mewujudkan hal demikian maka berdasarkan bijakan bersama tiga menteri mesti dilakukan penundaan sementara pengadaan Pegawai Negeri Sipil.
- 722 reads