Ketika bicara tentang “pluralisme berkeadilan gender”, kita perlu memperjelas logika di baliknya yang sekaligus juga memperlihatkan posisi, batasan, dan arah tulisan ini. Keadilan gender, sebagaimana konsep keadilan pada umumnya, khususnya dalam konteks modern, merupakan subjek tilikan etika politik yang mencakup institusi penataan politik (negara) dan penataan normatif (hukum). Jadi, bicara tentang keadilan berarti bicara tentang relasi kekuasaan dalam kerangka kekuasaan negara dan hukum, dan lebih khusus lagi bicara tentang keadilan gender berarti bicara tentang relasi kekuasaan politik dan hukum yang dibangun di atas asumsi dominasi gender tertentu kepada yang lainnya. Keadilan gender, sebagaimana keadilan pada umumnya, selalu merupakan problem politik baik yang monistik maupun pluralistik. Pluralisme politik (dan pluralisme hukum) tidak dengan sendirinya menjanjikan keadilan gender yang lebih baik ketimbang politik yang monistik-otoriter. Jadi, “pluralisme berkeadilan gender” tidak berdiri di atas asumsi bahwa pluralisme itu bermasalah bagi keadilan gender sementara monisme tidak, melainkan semata-mata berangkat dari realitas faktual-kontekstual Indonesia pascareformasi bahwa pluralisme politik begitu menguat antara lain dalam bentuk kekuasaan otonom daerah maupun pluralisme hukum dalam bentuk peraturan daerah (Perda) yang beragam, partikular, dan bahkan tidak konsisten dengan Konstitusi. Realitas pluralisme politik (dan hukum; selanjutnya disebut saja pluralisme politik tetapi maksudnya termasuk hukum juga) merupakan buah reformasi yang tidak terhindarkan.
Dengan uraian singkat di atas, jelaslah posisi tulisan ini yaitu sebuah kajian fenomenologi politik, bukan kajian budaya maupun sosiologis. Fenomenologi politik bertugas menelisik fenomen-fenomen politik, dalam hal ini pluralisme sosiologis dan kultural yang mengental dalam pluralisme politik, lalu dicoba dibongkar asumsi-asumsi di baliknya dan disingkap arah yang hendak disasarnya. Indikator yang digunakan adalah hasil dialetika antara demokrasi – yang bicara tentang kepentingan bersama, dan hak asasi manusia (HAM) – yang bicara tentang kepentingan individu (termasuk kelompok: hak kolektif). Posisi ini juga memperlihatkan batasannya yaitu bahwa keadilan gender yang dimaksud adalah keadilan yang ditempatkan dalam konteks kepolitikan, tidak dalam konteks etnografis, kultural, moral ataupun religius. Misalnya, jika praktik sifon di Timor dikritik, hal itu dilakukan tidak dengan semangat pembenturan nilai dari luar dengan nilai internal masyarakat yang bersangkutan, melainkan dilihat dengan menempatkan perempuan sebagai warga negara yang memiliki hak hidup yang sama dan setara dengan pria dan sebagai subjek yang otonom dan berdaulat dalam arti “tidak pernah boleh menjadi alat untuk tujuan di luar dirinya”. Demikian juga, misalnya, jika tulisan ini mengangkat persoalan ketidakadilan dalam praktik poligami, yang mau ditilik bukanlah ayat-ayat suci yang menjustifikasi praktik poligami dan kemudian mengkritiknya, melainkan praktiknya itu sendiri. Tulisan ini tidak masuk dalam kontestasi tafsir kitab suci atau debat teologis, melainkan melihat praktik yang berlandaskan pluralisme politik dan hukum itu berhadapan dengan ideal kepentingan bersama dalam negara demokratis di mana hak setiap individu tidak lebih tinggi tidak lebih rendah dari yang lain. Dengan demikian, atas nama hak kolektif suatu komunitas, hak individual perempuan tidak dengan sendirinya dikorbankan, karena tetap ada panduan umum dalam kerangka demokrasi yang menjaga kepentingan bersama di mana hak-hak setiap warga negara terjamin dan terlindungi.
Jelas pula kiranya arah tulisan ini yaitu memberikan kontribusi bagi praktik pluralisme politik yang menempatkan keadilan sebagai agenda utama, khususnya keadilan bagi perempuan dalam kerangka sosiokultur dan sosioekonomi yang sering terabaikan dan terpinggirkan. Dengan demikian, di satu sisi tulisan ini mengusung keadilan gender dalam kerangka politik, tetapi di sisi lain, manakala politik itu sendiri tidak akomodatif terhadap keadilan gender maka tulisan ini sekaligus bertugas mengkritik praktik politik semacam itu serta memberikan usulan perubahan.
Gender Equitable Pluralism
When talking about "gender justice pluralism", we need to clarify the logic behind it which also shows the position, boundaries, and direction of this paper. Gender justice, as the concept of justice in general, especially in the modern context, is the subject of the view of political ethics which includes political (state) structuring institutions and normative (legal) arrangements. So, talking about justice means talking about power relations within the framework of state power and law, and more specifically talking about gender justice means talking about political and legal power relations that are built on the assumption of certain gender dominations to others. Gender justice, like justice in general, is always a political problem both monistic and pluralistic. Political pluralism (and legal pluralism) does not automatically promise gender justice better than monistic-authoritarian politics. Thus, "gender justice pluralism" does not stand on the assumption that pluralism is problematic for gender justice while monism does not, but solely departs from Indonesia's factual-contextual reality after reformation that political pluralism is so strong, among others in the form of regional autonomy and legal pluralism in the form of regional regulations (Perda) that are diverse, particular, and even inconsistent with the Constitution. The reality of political pluralism (and law; hereinafter referred to as political pluralism but its meaning including law as well) is the inevitable fruit of reform.
With the brief description above, it is clear the position of this paper is a study of political phenomenology, not a cultural or sociological study. Political phenomenology is tasked with investigating political phenomena, in this case sociological and cultural pluralism that thickens in political pluralism, then tries to dismantle the assumptions behind it and reveal the direction it intends to target. The indicators used are the dialetic results between democracy - which talk about mutual interests, and human rights (HAM) - which talk about individual interests (including groups: collective rights). This position also shows the limits, namely that gender justice in question is justice which is placed in the context of politics, not in ethnographic, cultural, moral or religious contexts. For example, if the practice of chiffon in Timor is criticized, it is done not in the spirit of clashing values from outside with the internal values of the people concerned, but seen by placing women as citizens who have equal and equal rights to men and as autonomous subjects and sovereign in the sense that "it should never be a tool for purposes outside of itself". Likewise, for example, if this paper raises the issue of injustice in the practice of polygamy, what we want to see is not holy verses that justify the practice of polygamy and then criticize it, but the practice itself. This paper is not included in the contestation of scriptural interpretations or theological debates, but rather sees a practice based on political pluralism and law dealing with the ideal of shared interests in a democratic country where the rights of individuals are no higher than others. Thus, in the name of the collective rights of a community, women's individual rights are not necessarily sacrificed, because there is still general guidance in a democratic framework that safeguards the common interest in which the rights of every citizen are guaranteed and protected.
It is also clear that the direction of this writing is to contribute to the practice of political pluralism which places justice as the main agenda, especially justice for women in a sociocultural and socioeconomic framework that is often overlooked and marginalized. Thus, on the one hand this paper carries gender justice in a political framework, but on the other hand, when politics itself is not accommodating to gender justice, this paper is also tasked with criticizing such political practices and providing proposals for change.
- 842 reads