Pilkada (Pemilu) merupakan sarana kebebasan bagi masyarakat untuk menentukan kepala daerahnya sendiri secara otonom dan mandiri, serta terbukanya ruang publik (public sphere) sebagai media pastisipasi publik untuk menyalurkanberbagai pendapat dan pikiran rakyat serta tebentuknya ruang/wahana untuk mengembangkan demokratisasi kehidupan sosial (sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 22 E (1) (2) dan Pasal 18, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) termasuk dalam kategori pemilu).Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan salah satu jenis dari apartur sipil negara disamping itu ada Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). PNS sebagai penyelenggara pemerintahan harus tanggap terhadap perkembangan yang terjadi pada semua aspek kehidupan ekonomi, sosial, budaya, politik dan ketertiban serta mampu mengendalikan, membimbing dan mengarahkan seluruh dimensi kehidupan bermasyarakat. Untuk mewujudkan semua itu, maka diperlukan PNS yang profesional, mandiri dan tidak terlibat dalam kekuatan sosial politik manapun (netral). Dengan demikian, dalam menyelenggarakan pemerintahan, PNS harus menjunjung tinggi prinsip netralitas. Prinsip ini merupakan basis idealisme pengabdian pelayanan publik yang prima dan disinilah tanggungjawab, moralitas dan disiplin PNS diuji.
Persoalan netralitas birokrasi sudah menjadi pembicaraan lama di antara para ahli. Hegel menyatakan bahwa terdapat tiga kelompok dalam masyarakat, yaitu kelompok kepentingan khusus (particular interest) yang dalam hal ini diwakili oleh para pengusaha dan profesi, kemudian kelompok kepentingan umum (general interest) yang diwakili oleh negara, dan kelompok ketiga adalah kelompok birokrasi. Hegel dengan konsep tiga kelompok dalam masyarakat di atas menginginkan birokrasi harus berposisi di tengah sebagai perantara antara kelompok kepentingan umum yang dalam hal ini diwakili negara dengan kelompok pengusaha dan profesi sebagai kelompok kepentingan khusus. Jadi dalam hal ini birokrasi, harus netral.
Pengertian Netralitas Pegawai Negeri Sipil
Netalitas berasal dari kata “netral” yang artinya tidak membantu atau tidak mengikuti salah satu pihak. Netralitas adalah keadaan dan sikap netral (tidak memihak, bebas), sehingga seseorang dapat dikatakan netral apabila ia tidak memihak kepada dua atau lebih orang atau memihak kepada organisasi atau lembaga dalam penentuan sesuatu misalnya organisasi politik. Netral juga dapat diartikan sebagai:
- Sikap tidak memihak dan tidak berpihak terhadap salah satu kelompok/golongan
- Tidak diskriminatif
- Steril dari kepentingan kelompok
- Tidak terpengaruh dari kepentingan partai politik
Asas netralitas berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 adalah bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapa pun.Menurut Yamin (2013 hal. 13), netralitas dapat juga diartikan dengan bersikap tidak memihak terhadap sesuatu apapun.Dalam konteks ini, netralitas diartikan sebagai tidak terlibatnya pegawai negeri sipil dalam pemilihan Kepala Daerah baik secara aktif maupun pasif.
Menurut Rouke (Watunglawar, 2015 hal 26), mengatakan netralitas birokrasi dari politik adalah hampir tidak mungkin, sebab jika partai politik tidak mampu memberikan alternatif program pengembangan dan mobilisasi dukungan, maka birokrasi akan melaksanakan tugas-tugas itu sendiri dan mencari dukungan di luar partai politik yang bisa membantunya dalam merumuskan kebijakan politik.
Netralitas menurut Azhari (Patria, 2015 hal. 21) merupakan kondisi terlepasnya birokrasi spoil system yang berarti birokrasi bekerja berdasarkan profesionalisme dan kemampuan teknnis yang dibutuhkan. Menurut Thuha (Patria, 2015 hal 21), netralitas birokrasi pada hakikatnya adalah suatu sistem dimana birokrasi tidak akan berubah dalam memberikan pelayanan kepada masternya (dari partai politik yang memerintah), walaupun masternya berganti dengan master (partai politik) lain. Pemberian pelayanan tidak bergeser sedikit pun walau masternya berubah.Birokrasi dalam memberikan pelayanan berdasarkan profesionalisme bukan karena kepentingan politik.
Menurut Marbun (Hartini, 2009 hal 264) dikatakan netralitas jika seorang pegawai negeri sipil (PNS) aktif menjadi pengurus partai politik atau anggota legislatif, maka ia harus mengundurkan diri. Dengan demikian birokrasi pemeintahan akan stabil dan dapat berperan untuk mendukung serta merealisasikan kebijakan atau kehendak politik manapun yang sedang berkuasa dalam pemerintahan.
Oleh Amin (2013 hal 16-17) netralitas yang dimaksudkan adalah perilaku tidak memihak atau tidak terlibat yang ditunjukkan birokrasi pemerintahan dalam masa kampanye kandidat kepala daerah di ajang pemilihan kepala daerah (Pilkada) baik secara diam-diam maupun terang-terangan. Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur netralitas antara lain :
- Tidak terlibat, dalam arti tidak menjadi tim sukses calon kandidat pada masa kampanye atau menjadi peserta kampanye baik dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS
- Tidak memihak, artinya tidak membantu dalam membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon, tidak mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap salah satu pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah pada masa kampanye, meliputi pertemuan, ajakan himbauan, seruan atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkup unit kerjanya, anggota keluarga dan masyarakat serta tidak membantu dalam menggunakan fasilitas negara yang terkait dengan jabatan dalam rangka pemenangan salah satu calon pasangan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah pada masa kampanye.
Menurut H. Purba (2010 hal 135-136), ada beberapa alasan mengapa ASN dilibatkan dalam pilkada atau dimanfaatkan birokrasinya oleh beberapa pihak antara lain:
- Birokrasi seringkali mudah dimanfaatkan sebagai personifikasi negara, dengan melibatkan birokrasi ataupun para birokrat dalam pilkada, menjadi tim sukses, menjadi peserta kampanye atau lainnya, mereka dapat mengatasnamakan institusi negara untuk merayu atau bahkan untuk mengintimidasi warga.
- Birokrasi sebagai pemegang akses informasi di daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan birokrasi ialah kemampuannya untuk mengumpulkan informasi dari dan di wilayah kemasyarakatannya (teritorinya) sehingga dianggap sebagai sumber kekuatan yang tidak terperi oleh para kandidat pilkada. Sulit kiranya apabila birokrasi tidak diundang dalam percaturan politik daerah karena birokrasi memiliki sekumpulan data mengenai besaran pemilih, basis massa partai, pemilih pemula (early voters), kelompok Golput yang dapat dimanfaatkan oleh calon-calon penguasa, terutama incumbent.
- Birokrasi memiliki keahlian teknis untuk dilibatkan dalam kontestasi politik di daerah, keahlian teknis dalam formulasi dan implementasi kebijakan.
- Adanya vasted-interest yakni kepentingan memelihara dan meningkatkan posisi karir/jabatan yang mengakibatkan sebagian birokrat berpolitik, berspekulasi dengan harapan kandidat yang didukung menang, maka birokrat tersebut akan mendapatkan posisi yang lebih penting di kemudian hari.
- Masih kuatnya budaya patron-client menyebabkan PNS yang loyal akan membela habis-habisan atasannnya yang menjadi kandidat dalam pilkada. Selain itu, adanya kepentingan jaringan “bisnis dan politik” dari shadow government in bureaucracy.
Dasar Hukum Netralitas Pegawai Negeri Sipil
a. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22 E (1) (2) dan Pasal 18
Pilkada termasuk dalam kategori Pemilu, hal ini berarti bahwa Pilkada (Pemilu) merupakan sarana kebebasan bagi masyarakat untuk menentukan kepala daerahnya sendiri secara otonom dan mandiri, terbukanya ruang public (public sphere) sebagai medsium partisipasi public untuk menyalurkan berbagai pendapat dan pikiran rakyat serta terbentunknya ruang/wahana untuk mengembangkan demokratisasi kehidupan sosial.
b. Undang-Undang Nomor 5 Pasal 6 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
- Berdasarkan pasal 2 hurf f, menyatakan bahwa salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN adalah “netralitas:. Asas netralitas ini berarti bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapa pun.
- Berdasarkan Pasal 87 ayat (4) huruf b, menyatakan bahwa PNS diberhentikan dengan tidak terhormat karena menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
- Berdasarkan Ketentuan pasal 119 dan pasal 123 ayat (3) sebagaimana telah dilakukan pengujian dan telah diputuskan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 41/PUU-XIII/2014 tanggal 6 Juli 2015 sehingga dimaknai “PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Gubernur/Wakil Gubernur. Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota wajib menyatakan pengunduran duiri secara tertulis sebagai PNS sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur. Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota. PNS yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut dijatuhi saksi hukuman disiplin
c. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur. Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota.
d. Surat Edaran Menteri PANRB
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN RB) di akhir Desember 2017, telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor B/71/M.SM.00.00/2017 tentang Pelaksanaan Netralitas bagi ASN dalam Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018, Pileg 2019 dan Pilpres 2019. Salah satu poin pokok yang dijabarkan dalam Surat Edaran Menpan RB adalah pasal 11 huruf c Peraturan Pemerintah(PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Erik PNS, yang menyebutkan bahwa “ dalam hal etika terhadap diri sendiri, PNS wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan”.
Surat Edaran memang bukan produk peraturan perundang-undangan (regeling), tetapi dikategorikan sebagai peraturan kebijakan (Beleidsregel).Peraturan ini sendiri didasari oleh asas kebebasan yang disematkan kepada badan atau pejabat tata usaha Negara. Surat Edaran merupakan instrument administratif yang bersifat internal yang ditujukan untuk memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai suatu norma yang bersifat umum. Namun demikian Surat Edaran tetap harus tunduk pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Salah satunya adalah, Surat Edaran tidak boleh melabrak speraturan perundang-undangan yang ada.
Mengutip ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai negeri Sipil “PNS dilarang melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafialisasi dengan partai politik.
Beberapa contoh larangan yang dimaksud antara lain :
- PNS dilarang melakukan pendekatan terhadap partai politik terkait rencana pengusulan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
- PNS dilarang memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya atau orang lain sebagai calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
- PNS dilarang mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
- PNS dilarang mengahdiri deklarasi bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan atau tanpa menggunakan atribut bakal pasangan calon/atribut partai politik
- PNS dilarang mengunggah, menanggapi atau menyebarluaskan gambar/foto bakal calon/bakal pasangan calon Kepala Daerah melalui media online maupun media sosial
- PNS dilarang melakukan foto bersama dengan bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan mengikuti simbol tangan/gerakan yang digunakan sebagai bentuk keberpihakan
- PNS dilarang menjadi pembicara/narasumber pada kegiatan pertemuan partai politik
Untuk menjamin efektivitas pelaksanaan Surat Menteri PANRB, diharapkan para pimpinan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah agar melakukan pengawasan terhadap Aparatur Sipil Negara yang berada di lingkungan instansi masing-masing.
Sanksi
Sesuai dengan Surat Edaran Menteri PANRB Nomor: SE/06/M.PAN/11/2016, ada beragam sanksi yang mengancam Aparatur Sipil Negara (ASN) jika tidak menjaga netralitas dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Anggota Legislatif (Pilleg) dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004.Terhadap pelanggaran berbagai jenis larangan kepada PNS dikenakan sanksi moral.Selanjutnya atas rekomendasi Majelis Kode Etik (MKE), PNS yang melakukan pelanggaran kode etik selain dikenakan sanksi moral, dapat dikenakan tindakan administrastif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Tindakan administrastif dapat berupa sanksi hukuman disiplin ringan maupun disiplin berat sesuai dengan pertimbangan Tim Pemeriksa.
Selain itu, adanya ancaman Hukuman Disiplin Tingkat Sedang berupa :i) Penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun, ii) penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; dan iii) penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun:
- Bagi PNS yang memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan dukungan dan memberikan surat dukungan disertai fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan Kartu Tanda Penduduk
- Bagi PNS yang memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah serta mengadakan kegiatan yang mengarah keberpihakan kepada pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama dan sesudah masa kampanye.
Adapun Hukuman Disiplin Tingkat Berat berupa: i) penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun, ii) pemindahan dalam rangka penurunan pangkat setingkat lebih rendah, iii) pembebasan dari jabatan dan iv) atau pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS:
- Bagi PNS yang memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye
- Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye
Penjatuhan hukuman disiplin oleh pejabat yang berwenang menghukum dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 53 tentang Disiplin PNS dan Peraturan kepala Kepegawaian Negara Nomor 21 Tahun 2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perautan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
PNS semata-mata hanya berkewajiban untuk memberhasilkan politik negara yang tidak dilaksanakan presiden secara berjenjang sampai ke level bawah. Hal ini mengisyaratkan PNS harus benar-benar memahami politik negara atau pemerintahan, sehingga dapat berperan maksimal dalam semua proses kebijakan yang diorientasikan dalam rangka mencapai cita-cita negara. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah telah mengatur bahwa PNS yang tidak netral atau berpihak kepada salah satu kandidat kepala daerah akan ditindak tegas. Ini dimaksudkan agar tidak ada konflik kepentingan, juga pelayanan yang tetap berjalan secara obyektif, tidak berpihak kepada salah satu kalangan/kelompok atau partai politik tertentu yang terlibat pilkada.
Sumber Referensi:
Surat Edaran Menteri PANRB Nomor : SE/06/M.PAN/11/2016 terkait Netralitas PNS dalam Pilkada Serentak
Barhamudin, Pengaturan Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam Pilkada
- 9210 reads