Setiap manusia pasti memiliki kepribadi yang melekat pada dirinya sebagai ciri khas yang menunjukkan jati diri antara satu manusia dengan yang lainnya. Kepribadian merupakan campuran yang relative konsisten antara emosi, tempramen, pikiran dan tingkah laku, hal ini lah yang nampak pada diri setiap manusia. Sering kita dengar orang marah - marah karena emosi, orang nagis karena tebawa emosi. Setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam mengungkapkan emosinya, cara mengendalikan emosinya bahkan kadar emosi setiap orang masti berbeda-beda hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti hormon, faktor bawaan serta penyakit-penyakit yang dapat mempengaruhi emosi seseorang. Tak banyak orang tahu arti dari emosi itu sendiri serta bagaimana proses terjadinya emosi pada otak manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia emosi adalah luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat, keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan), keberanian yang bersifat subjektif. Menurut beberapa tokoh lain tentang emosi, diantaranya Chaplin (2005: 163) berpendapat bahawa emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya dari perubahan perilaku. Menurut tokoh lainnya, seperti yang dikemukakan oleh Poerbakawatja (Ali, 2005: 62-63), emosi adalah suatu respons terhadap suatu perangsang yang menyebabkan perubahan fisiologis disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan untuk meletus. Respon demikian terjadi baik terhadap perangsang-perangsang eksternal maupun internal.
Dari pendapat tokoh diatas menggambarkan bahwa emosi timbul akibat dari sebuah rangsangan yang muncul baik itu berasal dari eksternal maupun internal. Pendapat lain dikemukakan oleh Daniel Goleman (2009: 411), emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis. Berdasarkan dari pendapat diatas ternyata emosi yang kita pahami selama ini cukup keliru dimana kita berpendapat bahawa emosi selalu erat hubungannya dengan marah, karena ketika emosi timbul gejala yang nampak dari kita selalu marah-marah dan perbuatan lain yang kurang mengenakan.
Emosi merupakan aspek yang penting dimiliki oleh setiap manusia sebagai penyeimbang dalam kehidupan, banyangkan bangaimana menderitanya ketika seseorang tertimpa musibah tapi tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya, atau ketika seseorang berhadapan dengan masalah tetapi tak tahu bagaimana harus mengkondisikannya. Emosi hendaknya dimiliki oleh setiap orang tetapi memiliki emosi hendaknya sepaket juga dengan tahu cara pengendaliannya. Daniel Goleman (2009: 411) mengemukakan beberapa macam emosi, yaitu:
- Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati.
- Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa.
- Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri.
- Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, senang, terhibur, bangga.
- Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih.
- Terkejut : terkesiap, terkejut, takjub.
- Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka.
- Malu : malu hati, kesal.
Semua yang dilakukan oleh anggota tubuh manusia merupakan perintah atau berasal dari dalam otak yang kita miliki, otang memberikan perintah tentunya sesuai dengan rang sangan yang diterima oleh indra manusi dan diteruskan ke otak untuk diolah dan selanjutnya diteruskan ke anggota tubuh lainnya sebagai respon berupa perintah. Hal inipun berlaku pada pada emosi, seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa emosi timbul karena adanya stimulus dari eksternal maupun internal. Seorang ahli saraf dari New York University mengemukakan melalui pemetaan otak yang sedang bekerja menemukan peran penting amigdala. Amigdala merupakan tempat ingatan emosi dan bagian tubuh yang memproses hal-hal yang berkaitan dengan emosi. Munculnya rasa sedih, marah, nafsu, kasih sayang, dan emosi lainnya pada manusia berkaitan dengan fungsi amigdala dalam otak. Selanjutnya ia menjelaskan bagaiman amigdala mampu mengambil alih kendali apa yang dikerjakan oleh manusia, bahkan sewaktu neokorteks, sebagai bagian otak yang berfungsi untuk mengolah informasi yang diterima, masih menyusun keputusan untuk menentukan respon yang akan diberikan (Aulia, 2008: 11). Secara urutan dapat dijelaskan seperti ini sinyal-sinyal yang ditangkap dari indera dari mata, telinga, atau indera lainnya, terlebih dahulu dikirimkan menuju talamus yangbertujuan untuk menerjemahkan sinyal dari indra ke dalam otak. Selanjutnya pesan itu dikirim ke neokorteks yang akan menganalisis dan menentukan makna dan respon apa yang cocok. Jika respon bersifat emosional maka sinyal yang akan diteruskan ke amigdala untuk mengaktifkan pusat emosi. Tetapi sebagian kecil sinyal langsung menuju amigdala dari talamus dengan transmisi yang lebih cepat tanpa adanya proses lebih lanjut, sehingga memungkinkan adanya respon yang lebih cepat meskipun kurang akurat (Goleman, 2009: 25).
Setelah memahami apa itu sebenarnya emosi maka mari kita bahas tentang pengguna emosi yang disini dipilih subjeknya adalah remaja, kenapa remaja yang dipilih karena remaja merupakan masa dimana seorang anak manusia sedang mencari jati dirinya sehingga sangat rentan bersinggungan dengan pengolahan emosi. Remaja yang sedang labil dalam peroses mencapai pendewasaanya pasti dihadapkan dengan hal-hal yang akan menuntut mereka untuk dapat mengelola emosi.
Remaja merupakan masa transisi yang dialami seorang dari masa anak-anak menuju dewasa, untuk usia dewasa jika dilihat dari hukum indonesia yaitu undang-undang maka kita bisa merujuk pada persyaratan dalam menentukan usia pemilih tetap dalam pemilu yaitu 17 tahun sedangkan menurut pandangan islam usia dewasa merupakan kondisi dimana seseorang sudah dikatakan sudah akhil baligh yang ditandai oleh beberapa hal seperti tumbuhnya bulu-bulu dibagian tertentu pada tubuh, keluarnya air mani yang baik disebabkan oleh mimpi atau hal yang lainnya. Di Indonesia, batasan usia remaja yang dipergunakan dalam sensus penduduk tahun 1980 yang mendekati batasan WHO adalah rentang usia 14-24 tahun (Sarwono, 2006: 8).
Remaja berasal dari bahasa Latin adolescence yang artinya ”tumbuh” atau ”tumbuh untuk mencapai dewasa”, kata adolescence disini bearti memiliki kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992), secara psikologis menurut piaget remaja merupakan usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, kondisi ini dimana anak merasa bahwa dirinya berada tidak di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama. Perubahan berfikir secara intelektual dalam kehidupan sosial membuat cara berfikir remaja mampu terintegritas dalam hubungan sosial diaman orang dewasa yang menjadi lawan interaksinya. Lebih lanjut lagi pendapat yang dikemukakan oleh Feldman, Olds, dan Papalia (2004: 534) mendefinisikan masa remaja sebagai tahap perkembangan yang merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan baik secara biologis, kognitif dan psikososial. Perubahan ini pada mulanya diawali dengan terjadinya fase pubertas, fase pubertas adalah proses dimana terjadinya perkembangan terhadapan organ reproduksi yang dapat ditandai dengan adanya perubahan terhadap bentuk tubuh atau ukuran tubuh serta dilihat dari kematangan organ reproduksi. Selain itu juga terjadi perkembangan otak yang ditandai oleh perubahan pola fikir, serta perbuhan hormon pada tubuh yang sedikit banyak juka berpengaruh pada prilaku yang nampak pada kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan ulasan diatas dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan masa transisi antara masa anak-anak menuju dewasa yang ditandai dengan beberapa perubahan yang nampak secara langsung maupun tidak langsung, diantara lain telah terjadi perubahan fisik dari segi bentuk serta ukuran serta perubahan hormon sebagai tanda-tanda perubahan secara biologis, selain itu juga terjadinya perubahan pada pola fikir yang dipengaruhi oleh berkembangnya otak pada manusia yang berdampak pada kognitif serta psikososialnya. Ketika seseorang sudah dinyatakan remaja maka secara tidak langsung kemampuannya untuk dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang lebih luas, lebih banyak serta beragamnya orang-orang mampu dilalui dengan baik.
Perkembangan emosi yang dicapai dengan baik akan membuat remaja menjadi lebih matang dalam menjalani hidup dalam proses transisi menuju dewasa yang baik, hal ini perlu ditunjang dengan memiliki penguasaan emosi yang baik pula atau kecerdasan emosi yang baik. Menurut Hurlock (1999: 209) ada tiga faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi pada remaja, yaitu:
A. Kondisi fisik.
Apabila remaja tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan fisik yang terjadi pada dirinya, seperti yang telah dipaparkan dalam perkembangan remaja, remaja akan mengalami tingkat emosi yang meninggi. Ali dan Asrori juga mengemukakan bahwa sejumlah hormon tertentu dalam diri remaja mulai berfungsi sejalan dengan perkembangan organ seksual sehingga dapat menyebabkan rangsangan di dalam tubuh remaja dan sering kali menimbulkan masalah emosi dalam perkembangan emosinya.
B. Kondisi psikologis.
Pengaruh psikologis yang penting dalam hal ini, menurut Hurlock (1999: 212) adalah tingkat intelegensi, aspirasi atau keinginan dan kecemasan. Pada remaja dengan tingkat intelegensi rendah, rata-rata memiliki pengendalian emosi yang kurang dibandingkan dengan remaja yang tingkat intelegensinya lebih tinggi. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Abe dan Izard (1999:45) yang mengatakan bahwa perubahan emosi terjadi sebagai dampak dari perkembangan kognitif pada remaja. Kegagalan dalam mencapai aspirasi atau keinginan juga dapat menimbulkan keadaan cemas atau perasaan ketidakberdayaan sehingga mempengaruhi perkembangan emosi pada remaja.
C. Keadaan lingkungan. Lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan emosi pada remaja terdiri dari lingkungan rumah atau keluarga, sekolah, serta masyarakat. Ketegangan yang terus menerus akibat kesulitan yang dialami oleh remaja dalam menghadapi perbedaan pandangan dengan orang tua, guru, maupun teman sebaya dan lawan jenis dapat mempengaruhi perkembangan emosi pada remaja (Hurlock, 1999: 213).
Perkembangan emosi yang dimiliki remaja dengan baik, tentu sudah pastinya remaja tersebut memiliki kecerdasan emosi yang baik pula. Kecerdasan emosi meliputi Empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri (adaptif), Disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, sikap hormat (Shapiro, 2003: 5). Menurut pendapat Salovey dan Mayer, kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.”
Kecerdasan emosi pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor lingkungnan, artinya setiap orang yang mampu menyesuaikan dengan baik terhadap lingkungan sekitarnya maka kemampuan kecerdasan emosi pasti dimiliki dengan baik pula, begitu juga sebaliknya ketika seseorang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar maka kemampuan kecerdasan emosinya pasti rendah, hal ini dikarenakan kemampuan ini tidak bersifat menetap ertinya dapat senantiasa berubah. Dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan ini sangat dipengaruhi oleh dukungan orang tua, pola asuh orang tua semasa kecil serta orang-orang yang ada disekitarnya.
Goleman berpendapat bahwa kecerdasan emosional merupakan sisi lain dari kecerdasan kognitif yang berperan dalam aktivitas manusia yang meliputi kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri serta empati dan kecakapan sosial. Kecerdasan emosi pada dasarnya lebih ditekankan kepada upaya menganali, memahami dan dan mewujudkan emosi dalam porsi yang sesuai serta dapat mengelola emosi agar lebih bisa terkendali dan dapat memecahkan masalah kehidupan terutama yang berurusan dengan masalah antar manusia. Lebih lanjut lagi Goleman (2009: 58-59) mengungkapkan ada lima aspek kecerdasan emosional yang dapat menjadi pedoman bagi manusia untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupannya, yaitu:
1. Kesadaran diri (self-awareness)
Kesadaran diri merupakan dasar kecerdasan emosional. Kesadaran diri yaitu mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan, sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah.
2. Pengaturan diri (self-regulation)
Pengaturan diri adalah menangani emosi agar terungkap dengan tepat sehingga berdampak positif, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola (emosi produktif) jika mampu menghibur diri sendiri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya, orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi (emosi destruktif) akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri.
3. Motivasi (motivation)
Kemampuan seseorang memotivasi diri sendiri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut: 1) Cara mengendalikan dorongan hati, 2) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang, 3)kekuatan berpikir positif, 4)optimisme, 5)Keadaan flow (mengikuti aliran). Motivasi, disiplin, dan keseimbangan adalah kekuatan yang dikombinasikan untuk mengembangkan dan mendapatkan kecerdasan emosional.
4. Empati (empathy)
Emosi seseorang jarang sekali diungkapkan dengan kata-kata, namun emosi seseorang biasanya lebih sering diungkapkan melalui isyarat. Untuk mengetahui perasaan orang lain, seseorang harus dapat membaca pesan non verbal, seperti nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah dan lain sebagainya. Menempatkan diri pada tempat orang lain memang tidak mudah, namun hal itu diperlukan ketika seseorang memiliki rasa kasih kapada orang lain.
5. Keterampilan sosial (social skill)
Keterampilan sosial terjadi ketika kita mengetahui bagaimana:
- Membicarakan emosi kita kepada orang lain. Maksudnya adalah bagaimana kita dapat mensinkronisasikan perasaan dengan emosi orang lain.
- Mengetahui perilaku negatif dan mengenal alternatif perilaku positif yang dapat diambil. Misalkan dalam suatu masyarakat yang jelek, maka janganlah menentang begitu saja perilaku tersebut akan tetapi menciptakan suatu yang baru yang positif.
- Bergaul dengan masyarakat dengan integritas, kejujuran dan rasa syukur.
- Menyebarkan rasa optimis.
- Menunjukan perjuangan dalam diri Anda ketika orang lain melawan Anda.
- Empati dengan orang lain melalui pendengaran, mengkompromikan dan komitmen Anda untuk melakukan yang benar.
- Menunjukan prinsip-prinsip Anda tanpa menjatuhkan dan dominasi.
- Melakukan dengan contoh.
- Menjaga hubungan dengan masyarakat dan mengembangkan keharmonisan (Patton, 2000: 60).
Ada beberapa faktor-faktor yang dapat memepengaruhi kecerdasan emosi pada diri seseorang , diantaranya:
1. Faktor Bawaan
Kecerdasan emosional seseorang dapat ditingkatkan melalui mempelajarinya kapan saja dari kehidupannya. Namun ada emosi yang bersifat bawaan genetik, dimana bawaan itu sudah menjadi kebiasaan seseorang secara kodrati, misalnya sifat mudah marah dan pemalu. Sifat tersebut merupakan petunjuk emosional yang disebut temperamen.
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan ini dibedakan menjadi dua yaitu keluarga dan masyarakat, dimana keluarga atau peran orang tua yang memberikan pola asuh yang baik serta mencurahkan perhatian terhadap aspek emosi pada anak. Sedangkan cara berinteraksi di masyarakat tak kalah pentingnya dalam membentuk kecerdasan emosi seseorang, dengan berkomunikasi dan interaksi yang positif akan memeberikan dampak yang maksimal. Masyarakat disini termasuk juga lembaga pendidikan yaitu Sekolah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa yang tepat dalam pembentukan kecerdasan emosiaonal seseorang, hal ini dapat dimulai ketika tanda-tanda memasuki fase dewa telah nampak, seperti perubahan biologis, kognitif serta psikososial. Gejala-gejala ini sangat mudah dikenali karena dapat dilihat dan dinilai oleh masyarakat awam. Selain itu faktor-faktor yang dapat menunjang kecerdasan emosi seseorang seperti faktor keluarga dan lingkungan dapat berperan aktif dan maksimal dalam menunjang proses kecerdasan emosi yang maksimal, kemampuan seseorang dalam masing-masing aspek kecerdasan emosi berbeda satu sama lain. Kekurangan-kekurangan dalam keterampilan emosional dapat diperbaiki sampai ke tingkat yang setinggi-tingginya karena kecerdasan emosi ini tidak bersifat menetap sehingga dapat berubah untuk meningkat atau malah sebaliknya tergantung pada pribadi masing dalam merespons, mengembangkan ,dan mengupayakan yang maksimal dari setiap faktor yang mempengaruhi nya.
- 23033 reads