Coaching Daring ASN: Fenomena Coach Ideal

Seratus tahun lebih sejak 1830 istilah coaching, istilah coaching semakin akrab di telinga para Aparatur Sipil Negara (ASN). Bukan sekedar istilah manajemen modern, coaching kini menjadi bagian dari strategi besar pengembangan kompetensi ASN sebagai salah satu pilar penting dalam agenda reformasi birokrasi di Indonesia.

Trigger perubahan proses pembelajaran ketika efesiensi anggaran mulai diterapkan. Pelatihan ASN yang semula blended, perlahan beralih ke ruang digital. Interaksi yang biasanya hangat dan penuh diskusi, kini bergeser ke layar laptop atau smartphone. Dalam situasi itu, coaching daring muncul sebagai jembatan untuk mempertahankan makna pembelajaran reflektif — walau tanpa pertemuan fisik.

Sebuah penelitian oleh Razali (2020) menunjukkan bahwa sebagian besar peserta Pelatihan Dasar (Latsar) ASN merasakan manfaat coaching daring dalam menjaga komunikasi dan motivasi belajar. Meski demikian, tantangan tetap ada: kualitas interaksi menurun, refleksi terasa lebih dangkal, dan hubungan antara coach dan peserta tidak selalu berjalan seintim pertemuan langsung.

Di sisi lain, hasil studi oleh Sururama dan Yuniasari (2024) menemukan bahwa pembelajaran berbasis daring justru membuka ruang bagi inovasi pelatihan ASN. Melalui penggunaan platform digital, peserta dapat mengakses sumber belajar lebih luas, berinteraksi lintas daerah, dan mengatur waktu refleksi secara mandiri. Artinya, keberhasilan coaching daring tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada pendekatan yang menempatkan peserta sebagai pusat pembelajaran.

Sayangnya, dalam praktiknya, coaching dalam pelatihan ASN sering kali kehilangan makna karena terlalu terikat pada rutinitas administratif. Banyak peserta menganggap sesi coaching hanya sebagai kewajiban kurikulum — sesuatu yang harus dikerjakan agar bisa “lulus”. Seperti diungkapkan oleh Waris dan Susanti (2025), tanpa pemahaman yang mendalam tentang esensi coaching, proses ini mudah terjebak pada formalitas yang justru menghilangkan nilai reflektifnya.

Padahal, makna sejati coaching bukan sekadar mendengar arahan atau memberikan laporan perkembangan. Coaching adalah proses kolaboratif yang membangun kesadaran diri, menggali potensi tersembunyi, dan menumbuhkan kemampuan untuk belajar dari pengalaman. Dalam konteks ASN, pendekatan ini bisa menjadi cara baru untuk membentuk aparatur yang berpikir kritis dan bertindak berdasarkan nilai pelayanan publik.

Menariknya, riset oleh Virnandes et al. (2024) menyoroti hubungan antara pelatihan digital dan meningkatnya kepercayaan publik terhadap birokrasi. Ketika ASN terbiasa dengan pola pembelajaran reflektif dan mandiri, mereka cenderung menunjukkan profesionalisme dan empati yang lebih tinggi dalam pelayanan publik. Hal ini membuktikan bahwa pelatihan berbasis coaching bukan hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada citra institusi pemerintahan.

Kini, pertanyaannya bukan lagi “perlukah coaching daring?”, melainkan “bagaimana membuat coaching daring benar-benar bermakna?”.

Mengenal Coaching: Seni Menggali Potensi di Balik Pengembangan ASN

Bayangkan seorang aparatur muda yang baru saja lulus seleksi CPNS. Ia bersemangat, penuh ide, tetapi juga canggung menghadapi dunia birokrasi yang kaku. Di sinilah coaching hadir — bukan sekadar untuk mengajari, melainkan membantu mereka menemukan cara berpikir, beradaptasi, dan tumbuh melalui refleksi.

Dalam ranah pengembangan sumber daya manusia, coaching dipahami sebagai proses pendampingan yang membantu individu menggali potensi dan menetapkan arah tujuan pribadi maupun profesional. Berbeda dari metode instruksional yang menekankan perintah dan arahan, coaching menempatkan individu sebagai aktor utama dalam proses belajar. Sang coach hanya menjadi fasilitator — seseorang yang menuntun, bukan mendikte (Hertati et al., 2023).

Penelitian di berbagai lembaga pengembangan aparatur menunjukkan bahwa coaching adalah metode pembelajaran non-direktif yang fokus pada kesadaran diri dan tanggung jawab individu terhadap proses pengembangannya (Murti, 2020). Sementara mentoring kerap berfokus pada transfer pengalaman dan nasihat dari senior ke junior, coaching lebih menitikberatkan pada eksplorasi pertanyaan reflektif — membantu peserta menemukan jawabannya sendiri. Pendekatan ini sangat relevan dalam konteks ASN, yang diharapkan mampu berpikir kritis dan mengambil keputusan berdasarkan nilai pelayanan publik.

Ciri khas utama coaching adalah hubungan kerja yang sejajar antara coach dan coachee. Tidak ada hierarki yang membatasi, melainkan kolaborasi yang mendorong perubahan perilaku dan peningkatan kinerja. Dalam organisasi modern, coaching terbukti efektif untuk membangun kepemimpinan reflektif dan budaya kerja yang berorientasi hasil (Ghodang, 2022).

 

Coaching dalam Dunia Pelatihan ASN

Dalam Pelatihan Dasar (Latsar) ASN, coaching menjadi elemen penting dalam mendukung internalisasi nilai-nilai dasar ASN — BerAHKLAK. Melalui sesi coaching, peserta didorong untuk mengaitkan teori pelatihan dengan realitas kerja mereka di instansi masing-masing. Proses ini membantu mereka tidak hanya memahami tugas, tetapi juga memaknai peran sebagai pelayan publik.

Komunikasimembuat kedekatan emosional antara coach dan peserta mudah terbangun. Makna sejati coaching justru terletak pada kepercayaan, empati, dan percakapan reflektif yang tulus (Handoyo et al.,2023)

Melihat Coaching Daring ASN dari Kacamata Konseptual

Kerangka pemikiran yang digunakan dalam banyak penelitian terbaru menempatkan coaching daring sebagai hasil dari interaksi tiga unsur utama: desain coaching, kualitas interaksi antara coach dan peserta, serta konteks organisasi birokrasi. Persepsi peserta terhadap manfaat coaching sangat dipengaruhi oleh sejauh mana tujuan coaching dipahami dengan jelas, bagaimana komunikasi berlangsung, serta relevansi topik dengan kebutuhan pribadi mereka (Nazifah, 2021).

Pembahasan

Merujuk pada hasil kuisioner dari peserta coaching pada pelatihan latsarmengenai gambaran hal hal yang  menarik tentang sosok coach, mereka yang tidak hanya berperan sebagai pembimbing akademik, tetapi juga sebagai pendamping yang empatik dan inspiratif.

Salah satu hal yang paling menonjol adalah sikap dan kepribadian coach. Banyak peserta menilai bahwa pendekatan yang dilakukan para coach terasa hangat, simpatik, dan penuh kepedulian. Ucapan seperti “aktif, simpatik” dan “selalu membantu kapanpun” sering muncul, menunjukkan bahwa interaksi yang dibangun tidak kaku, melainkan penuh empati. Bagi peserta, relasi yang akrab dan suportif ini menjadi nilai tambah tersendiri dibanding sekadar proses belajar formal.

Selain itu, dukungan dan bantuan yang diberikan juga mendapat sorotan positif. Para coach dinilai sangat responsif, bahkan di luar jam bimbingan resmi. Tidak sedikit peserta yang merasa terkesan karena coach bersedia meluangkan waktu tambahan melalui berbagai kanal komunikasi seperti WhatsApp, demi memastikan setiap peserta memahami materi dan tidak tertinggal. Sikap “extra mile” ini menumbuhkan rasa percaya dan menunjukkan komitmen tinggi terhadap keberhasilan peserta.

Dari sisi komunikasi dan kejelasan penjelasan, coach dinilai mampu menjembatani pemahaman peserta dengan cara yang efektif. Penjelasan yang diberikan tidak hanya detail, tetapi juga disampaikan secara runtut dan mudah dicerna. Kemampuan membangun komunikasi dua arah menjadikan sesi bimbingan terasa interaktif dan hidup, bukan sekadar penyampaian materi satu arah.

Menariknya, peserta juga menyoroti kejujuran dan keberanian coach dalam memberi umpan balik. Bagi mereka, kejujuran yang terkadang “pahit” justru menjadi bentuk perhatian dan dorongan untuk berkembang. Coach tidak hanya memuji, tetapi juga mengoreksi dengan cara yang membangun—mengarahkan tanpa menghakimi.

Terakhir, konsistensi dan struktur pembelajaran menjadi aspek yang diapresiasi. Sesi yang berlangsung secara teratur memberi kesan profesional dan terencana, menciptakan rasa aman bagi peserta bahwa mereka berada dalam jalur pembelajaran yang jelas dan berkesinambungan.

Secara keseluruhan, secara emperis citra coach daring yang ideal: hangat dan peduli, responsif dan komunikatif, jujur dalam memberi masukan, serta konsisten dalam mendampingi proses belajar. Sosok coach bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga mitra yang hadir dengan hati dan komitmen untuk membantu setiap peserta mencapai versi terbaik dirinya.

Intepretasi  atas Temuan

Temuan dari kuisioner menunjukkan bahwa karakteristik utama coach daring yang paling dihargai peserta mencakup empati, komunikasi efektif, kejujuran dalam memberikan umpan balik, dan konsistensi pendampingan. Temuan ini menggambarkan bahwa keberhasilan coaching daring tidak hanya bergantung pada penyampaian materi, tetapi juga pada kualitas relasional dan kehadiran emosional coach.

Hasil ini sejalan dengan konsep digital empathy yang dijelaskan oleh Rey Velasco et al. (2024), di mana empati dalam interaksi daring membantu membangun rasa percaya dan meningkatkan keterlibatan peserta. Mereka menekankan bahwa “Komunikasi digital yang empatik memungkinkan coach untuk merespons isyarat emosional yang halus secara efektif,” yang menjelaskan mengapa peserta menilai coach yang “peduli dan simpatik” sebagai sosok ideal.

Sikap responsif dan komunikatif yang ditemukan dalam data kuisioner juga mencerminkan teori relational presence dalam pembelajaran daring. Menurut Schilling & Kauffeld (2024), kejelasan komunikasi dan keterbukaan saluran dialog menjadi faktor kunci pembentukan kepercayaan dalam konteks digital coaching. Dengan demikian, perilaku coach yang “mudah dihubungi” dan “memberikan penjelasan detail” dapat diinterpretasikan sebagai bentuk relational maintenance yang memperkuat hubungan antara coach dan peserta.

Bicara tentang konteks feedback, Steelman et al. (2019) menegaskan bahwa umpan balik yang konstruktif dan jujur merupakan inti dari proses coaching karena “Umpan balik berfungsi sebagai cermin tempat para peserta pelatihan melihat kemajuan dan tantangan mereka”. Hal ini sejalan dengan persepsi peserta yang menganggap kejujuran coach sebagai bentuk kepedulian yang memotivasi mereka untuk berkembang.

Sementara itu, aspek konsistensi dan struktur pembelajaran dalam temuan lapangan memperkuat teori constructivist grounded coaching yang dikemukakan oleh Meyer (2023), bahwa kejelasan dan keteraturan sesi merupakan indikator utama praktik coaching yang efektif. Dalam pandangan Meyer, “Konsistensi menciptakan rasa aman secara psikologis dan prediktabilitas pembelajaran dalam hubungan pelatihan daring”.

Kesimpulan

Keberhasilan seorang coach daring tidak hanya diukur dari seberapa baik ia menguasai materi, tetapi juga dari bagaimana ia hadir secara manusiawi dalam ruang digital. Empati, kehangatan, komunikasi yang jernih, kejujuran dalam memberi masukan, serta konsistensi dalam mendampingi menjadi fondasi utama yang membuat peserta merasa didengar, dihargai, dan termotivasi.

Dalam pembelajaran yang serba virtual, bahwa teknologi tidak menghapus sisi emosional proses belajar, selama ada figur coach yang tulus dan responsif di balik layar.

Pada akhirnya, kunci keberhasilan coaching daring bukanlah teknologi itu sendiri, melainkan bagaimana teknologi digunakan untuk menghadirkan kehangatan dan kedekatan. Para coach yang mampu menjaga keseimbangan antara profesionalisme dan sentuhan manusiawi telah membuktikan bahwa pembelajaran daring bisa sama bermaknanya dengan tatap muka—bahkan lebih personal, karena lahir dari perhatian yang nyata.

 

Referensi:

Ghodang, H. (2022). Heutagogy approach in basic training for civil servant candidates at the Human Resources Development Agency of North Sumatra Province.International Journal of Education and Research.

Handoyo, S., Azaria, S., Aryunia, R., & Ulum, B. (2023). Keterampilan coaching: Panduan praktis dengan pendekatan psikologi. Airlangga University Press.

Hertati, H., Samad, A., & Mujahid, M. (2023). Civil servant competency development at the Human Resources Development and Personnel Agency.Journal LaBisecoman.

Meyer, H. (2023). What is best practice in online coaching?International Journal of Evidence Based Coaching and Mentoring.

Murti, F. P. (2020). Managing training for civil servants with planning roles in Indonesia: Lessons from Singapore.Semantic Scholar.

Nazifah, L. (2021). Issues in coaching and mentoring in basic training for civil servant candidates: A qualitative study.Proceedings of INCESH-21 (Atlantis Press).

Razali, S. (2020). Trainees’ perceptions of online coaching in basic training for civil servant candidates.Jurnal Pencerahan.

Rey Velasco, E., Demjén, Z., & Skinner, T. C. (2024). Digital empathy in behaviour change interventions.Digital Health. https://doi.org/10.1177/20552076231225889

Schilling, H., & Kauffeld, S. (2024). Building empathy and trust in online environments. Routledge.

Steelman, L. A., Kilmer, G., Griffith, R. L., & Taylor, J. (2019). The role of feedback in coaching and technology-enabled coaching processes. Springer.

Sururama, R., & Yuniasari, K. (2024). Evaluating the effectiveness of MOOC-based learning for enhancing civil servant competence: A case study in Karanganyar Regency.Education and Information Technologies.

Virnandes, S. R., Shen, J., & Vlahu-Gjorgievska, E. (2024). Building public trust through digital government transformation: A qualitative study of Indonesian Civil Service Agency.Procedia Computer Science.

Waris, I., & Susanti, A. (2025). e-Government in Central Sulawesi Province: Study on digital-based state civil apparatus human resource development at BPSDM Central Sulawesi.Preprints.org.

Penulis: 
Atpriatna Utama, S.IP., M.M - Widyaiswara Ahli Madya
Sumber: 
BKPSDMD

Artikel

20/11/2017 | Syanti Gultom, A.Md - Dinas Koperasi, UKM
473,121 kali dilihat
18/07/2017 | Abdul Sani, S.Pd.I - Widyaiswara Muda pada BKPSDMD Babel
447,894 kali dilihat
07/11/2018 | Jimmy Arief Saud Parsaoran, S.T. - Prakom Pertama BKPSDMD
235,789 kali dilihat
31/08/2018 | Jimmy Arief Saud Parsaoran, S.T. - Prakom Pertama BKPSDMD
206,343 kali dilihat
07/12/2017 | Herru Hardiyansah, S.Kom. - Prakom Muda BKPSDMD
144,618 kali dilihat